Penampilannya menyejukkan. Gaya bicaranya cukup
memikat, dan kharismanya juga begitu mencuat. Kemampuan retorikanya cukup
standar, sementara bobot ilmiahnya dalam berbicara luar biasa. Bila diberi
kepercayaan untuk mengupas berbagai jenis bid’ah, kelompok-kelompok sesat yang
menyimpang dari kebenaran, dengan tangkas ia menyajikan pembahasan yang sangat
memuaskan. Bila dimintai fatwa tentang kelompok-kelompok islam sempalan, atau
buku-buku islam yang dianggap memiliki penyimpangan atau berbahaya, ia terlihat
sangat digdaya: sekian kekurangan, aib atau cacat pada kelompok atau buku-buku
itu, demikian mudah ia kuliti. Terkadang, yang tidak cacat pun mungkin bisa ia
ungkapkan sebagai cacat, dan hasilnya akan sangat meyakinkan sekali.
Suatu ketika, salah seorang rekannya melihat ia sedang
asyik browsing di internet. Secara
tak terduga si rekan sudah berdiri di sampingnya, tanpa dia ketahui. Bahkan
sampai beberapa lama, ia tak pernah menyadari bahwa ada orang yang pernah hadir
di sisinya. Si rekan kontan melotot. Heran bercampur cemas. Si ustadz ternyata
sedang asyik memelototi artis dunia, dalam keadaan bugil atau setidaknya nyaris
bugil!
Pernah juga seorang penuntut ilmu membuka-buka isi
komputer salah seorang gurunya. Tanpa disangka, ia mendapatkan beberapa folder
berisi cerita-cerita mesum dan gambar-gambar porno!
Bahkan ada salah seorang guru agama bepergian ke luar
negeri, dan pulang dengan membawa majalah porno sebagai oleh-olehnya!
Silakan menganggap kisah di atas bukan sebuah realita.
Silakan menganggapnya hanya sebuah ilustrasi atau deskripsi dari sebuah
keniscayaan. Yang jelas, bila itu betul-betul terjadi, jangan menganggapnya
sebagai sebuah kejadian hebat. Itu hanya soal anak manusia yang terperosok
godaan iblis. Kakek kita Adam dan istri beliau Hawa, pernah juga merasakan
akibat godaan iblis, padahal mereka orang-orang pilihan. Adam adalah seorang
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Kemaksiatan pula yang menjebloskan Yunus ke
dalam perut ikan paus. Dosa jelas tidak bermanfaat sama sekali. Manusia wajib
menghindari dosa dan maksiat. Tapi terkadang Allah menguji manusia dengan
“dosa” agar si manusia bertobat dan semakin dekat dengan-Nya.
Ibnul Qayyim mengungkapkan dalam Miftahu Daris Sa’adah, “Siapa saja yang merenungi hikmah Allah,
rahmat, dan kebaikan-Nya terhadap para hamba dan orang-orang yang berusaha taat
kepada-Nya, pasti akan menyadari bahwa Allah terkadang memberi kebaikan dengan
memberi hukuman kepada mereka, lalu memberikan obat bagi luka yang dideritanya.
Seperti halnya seorang hamba yang menyiksa dirinya dengan dosa-dosa dan
maksiat, lalu Allah mengobatinya dengan tobat dan ampunan yang diberikan
kepadanya. Terkadang Allah juga “menyiksa” mereka melalui berbagai musibah dan
cobaan, namun kemudian mengobatinya dengan keselamatan dan kenikmatan
sehingga terbukalah bagi si hamba salah
satu pintu besar makrifat, cinta kasih, dan pengenalan bahwa Allah lebih
mengasihi hamba-Nya daripada seorang ayah mengasihi anaknya. Bahkan “penyiksaan”
itu tidak lain adalah wujud kasih sayang Allah juga, wujud kebaikan dan
kemurahan-Nya. Allah lebih mengetahui kemaslahatan seorang hamba dari diri si
hamba sendiri. Akan tetapi karena kelemahan hati nuraninya dan pengenalan
terhadap asma dan sifat Allah, seorang hamba nyaris tidak bisa merasakan hal
itu. Sehingga ia tidak mampu memperoleh keridhaan Allah, tidak mampu
mendekatkan diri kepada-Nya, tidak mampu bergembira dan merasakan kebahagiaan
dengan mendekat ke arah-Nya, dengan berada di sisi rahmat-Nya, terkecuali
dengan kerendahan hati dan sikap tawadhuk. Dengan cara itulah proses mencintai
Allah berlangsung. Hanya dengan cara itu seseorang bisa mendekati yang
dicintainya”
Begitulah. Soal guru agama berbuat maksiat memalukan,
memang mengenaskan. Tapi yakinlah, itu memang ada. Ketika muncul berita seorang
guru ngaji menodai murid perempuannya, bahkan ada yang di bawah umur, silakan
terkejut. Tapi itu pun pernah menjadi realita. Belum lagi oknum yang berkedok
ustadz dengan segudang ilmu-ilmu ladunni.
Berdasarkan pengakuannya, ternyata tidak lebih dari seorang dukun cabul.
Kejadian seperti itu, akhirnya hanya menambah deretan beberapa oknum pengajar
yang ternyata sangat kurang ajar. Kisah yang penulis paparkan di awal bab ini,
menjadi “belum apa-apa” kalau dibandingkan sekian kasus lain yang jauh lebih
memprihatinkan.
Sama dengan kasus santri bermaksiat, kasus ustadz,
guru ngaji, pengajar, guru, kyai, dan sejenisnya yang melakukan maksiat
memalukan, juga tetap saja sebuah kasus. Seberapa pun itu memprihatinkan dan
mencengangkan. Manusia mana pun, bisa saja berbuat maksiat. Ini bukan sebuah
anjuran agar kita selalu bersikap curiga terhadap seorang guru agama. Tidak,
sikap itu amat tidak diperbolehkan dalam islam. Tapi ini hanya sebuah anjuran
agar siapa pun kita, dengan kedudukan apa pun, termasuk yang dianggap sangat
sakral, guru mengaji, tetap harus waspada terhadap godaan setan. Karena Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya
setan mengaliri tubuh anak manusia melalui pembuluh darahnya” [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya (II:
717), Muslim dalam Shahih-nya (IV: 1712), Ibnu Khuzaimah (III: 349), dan
At-Tirmidzi (IV: 475) dari Anas bin Malik]
Meski semua itu pernah menjadi realita, tetaplah kita
amat menyayangkan, kenapa semua itu bisa terjadi. Selebihnya, kita juga terlecut
untuk lebih waspada di kemudian hari.
Persoalannya, guru agama, ustadz, alim ulama,
kesemuanya adalah sebutan untuk orang-orang yang menjadi publik figur, dalam
skala apa pun. Selain itu, mereka adalah orang-orang yang paling bertanggung
jawab terhadap upaya penyebaran agama Allah, untuk perbaikan umat, dan
memakmurkan bumi ini dengan amal kebajikan. Akan sangat menyedihkan, bila
segelintir di antara mereka, betapa pun sedikitnya dibandingkan dengan total
guru mengaji di muka bumi ini, sempat melakukan hal-hal yang tidak senonoh itu,
atau mungkin bebagai jenis maksiat lainnya. Tidak terlalu bisa disalahkan, bila
kemudian segelintir masyarakat awam menjadi hilang kepercayaan terhadap para
guru agama. Meskipun keliru, tapi munculnya sikap itu adalah sebuah kewajaran.
Para guru agama yang bertanggung jawab harus menunjukkan kebesaran jiwa mereka.
Tudingan miring terhadap kredibilitas mereka, tidak boleh menyurutkan tekad
mereka menyampaikan kebenaran. Kalau soal di antara mereka ada yang pernah
berbuat maksiat secara mamalukan, toh di zaman Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam, di bawah pengasuhan manusia
terbaik seperti beliau, juga pernah terjadi kasus pencurian dan perzinaan oleh
sebagian kaum muslimin. Realita itu toh tidak pernah mengubah keyakinan kita bahwa
generasi para Sahabat adalah generasi terbaik.
Kita harus semakin terpacu untuk membaca realita
secara lapang dada. Alam kehidupan ini adalah pergerakan dari banyak makhluk Allah, di antaranya
manusia. Manusia sendiri adalah makhluk ciptaan Allah yang diberi kebebasan
untuk memilih jalan kehidupan. Petunjuk, bimbingan, dan pengajaran telah Allah
berikan. Para Nabi diutus, kitab-kitab suci pun diturunkan. Namun menjadikan
semua petunjuk dan pengajaran itu sebagai jalan hidup harus dilakukan dengan totalitas
semangat dan kemampuan yang kita miliki. Jatuh bangun, selama masih dalam upaya
menegakkan penghambaan diri secara bersih adalah kewajaran belaka. Manusia
diciptakan bukan untuk tidak pernah berbuat salah, tapi untuk mudah sadar saat
berbuat salah, lalu bertobat dan memperbaiki diri.
“Masing-masing
anak manusia adalah pelaku dosa. Namun sebaik-baiknya orang yang berdosa adalah
yang paling banyak bertobat”
[Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak IV: 272. Sanadnya sahih]
Renungan:
Marilah merenung sedalam-dalamnya. Alam kehidupan ini
akan terus menyisakan kesempatan bagi kita untuk merenung. Sebelum nyawa sampai
ke kerongkongan, perenungan akan tetap kita butuhkan. Kini kita dihadapkan pada
persoalan besar. Amukan tsunami, letusan gunung krakatau, atau perang dunia
kedua sekalipun, tidaklah terlalu besar dibandingkan persoalan yang kini tengah
kita hadapi. Persoalan ini butuh perenungan panjang. Persoalan ini hanya sebuah
pertanyaan: saat upaya mendakwahkan agama dipermudah, saat sudah semakin banyak
wanita-wanita berjilbab meramaikan majelis-majelis ilmu, kenapa figur pendidik
yang baik semakin diragukan?
Baiklah, sekarang mari lebih memandang realita.
Seorang dai tentu kita berupaya mendakwahkan kebenaran. Sedemikian gigih kita
menyoal hal-hal yang diragukan. Sedemikian ngotot mempersalahkan banyak orang,
banyak kelompok, banyak pemahaman, bahkan juga banyak dai seperti kita. Sebatas
itu adalah upaya menegakkan kebenaran, dan sejauh upaya “menyalahkan” itu masih
dengan adab yang baik, bertujuan tulus mengadakan perbaikan atau memberi
peringatan, bukan hanya “menyalahkan”, tapi juga “meluruskan”, sungguh sebuah
upaya yang patut dipuji. Tapi bisakah kita bersikap sama gigihnya, sama ngototnya,
untuk menyoal dan mempersalahkan segala kekurangan kita? Betulkah sudah sama
bersemangatnya untuk mengajak diri kita meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh
Allah?
Bila belum mampu berlaku demikian, sadarlah, bahwa
kita dalam masalah besar. Kita hanya akan menjadi orang yang serba sok menang
dalam segala hal.
Segala kelebihan pengetahuan, kelebihan kesempatan
mengenal kebenaran; keyakinan yang benar, metoda pemahaman islam yang benar,
hanya akan sia-sia belaka, bila sebatas itu kualitas kita. Karena artinya, kita
bukanlah orang-orang yang ikhlas. Itu bisa dibuktikan dengan banyak
kenyataannya. Saat orang menceritakan, ‘Lihat, dai Fulan bagus sekali
ceramahnya!’, tanggapan kita, ‘Gaya ceramahnya memang bagus, tapi isinya payah!’.
Kalau orang menceritakan, ‘Lihat si Fulan, akhlak dan prilakunya bagus, teduh
dan berwibawa!’, tanggapan kita, ‘Akhlaknya memang bagus, tapi keyakinannya
rusak!’. Kalau seorang menuturkan, ‘Si Fulan itu dakwahnya bagus!’, tanggapan
kita, ‘Dakwahnya memang bagus, tapi sayang pemahaman islamnya gak karuan!’.
Kalau ada orang bilang, ‘Si Fulan, ulasan tentang akidahnya bagus sekali!’,
tanggapan kita, ‘Akidah dan keyakinannya memang bagus, tapi metode dakwahnya
yang tidak menentu!’. Kalau ada kabar, ‘Si Fulan ibadahnya bagus, akhlaknya
juga bagus, banyak berdzikir, belajarnya juga rajin!’, tanggapan kita, ‘Memang
iya. Tapi apa gunanya, kalau ia jauh dari sunnah!’. Selama realitanya memang
demikian, dan selama yang kita paparkan memang benar adanya, tidaklah menjadi
masalah. Tujuan kita sangatlah bagus, berupaya sesempurna mungkin memahami,
meyakini, mengamalkan, dan mendakwahkan kebenaran. Bila perlu, kualitasnya
tidak jauh berbeda dengan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para
Sahabat beliau. Itu sungguh niatan yang amat baik.
Tapi persoalannya, kita khawatir, kalau semua ucapan
itu hanyalah untuk menutupi kekurangan, atau karena tidak mau mendengar
kelebihan orang lain. Kalau memang benar orang lain lebih bagus ibadahnya, tapi
kita memiliki akidah yang lebih terarah, silakan dakwahi orang itu agar
memperbaiki akidahnya, tapi sadar dong, bahwa ibadah kita juga harus
diperbaiki. Kalau orang lain berakhlak luhur, sementara akhlak kita bejat,
tetapi metode pemahaman kita lebih lurus, silakan dakwahi orang itu. Tapi jangan
lupa, akhlak kita yang bejat juga diperbaiki. Kalau itu kita lakukan, orang
lain pun akan menghormati kita. Secara otomatis, dakwah kita pun akan lebih
dihargai orang lain. Tapi kalau kita hanya sibuk menilai kekurangan orang lain,
seberapa pun remehnya, sementara tidak peduli dengan kekurangan kita, seberapa
pun bejatnya, hancurlah kita. Orang pun tidak lagi bersimpati kepada kita, yang
demikian menggebunya membela kebenaran dalam keyakinan dan pemahaman, tapi
begitu rapuhnya iman kita, tergoda oleh maksiat sedikit saja, sudah ambruk.
Ujung-ujungnya, tampaknya harus lebih memperhatikan sisi keikhlasan kita dalam
ibadah dan dakwah. Hanya kepada Allah saja, kita memohon pertolongan.
[Disalin
dari Buku “Dalam Selimut kabut Maksiat”
hal. 141 – 149. Penulis: Abu Umar Basyir. Penerbit: Rumah Dzikir]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda di sini