BILA SANTRI BERMAKSIAT

Sebenarnya, penulis ingin menyebutkan kata lain, bukan santri. Tapi rasanya belum ada kata yang bisa mewakili kata tersebut dalam konteks bahasa Indonesia. Biarlah, karena kita sudah sama-sama memaklumi arti kata tersebut. Santri, sebenarnya sebutan untuk orang yang mendalami ilmu agama islam, di surau atau di pesantren. Di sebagian daerah di negeri kita ini biasa juga disebut faqih. Kata itu bisa berlanjut menjadi sebutan bagi orang yang bersikap alim, santun, dan agamis. Maka ada istilah, “bersikaplah sebagai santri”, artinya jagalah sopan santun !
 
Yang penulis inginkan adalah istilah pertama. Begitu disebut kata santri, itulah yang lebih dahulu dipahami kebanyakan orang. Santri, sebutan untuk orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu, belajar tentang keimanan, dan menempa diri menjadi orang shalih serta berilmu.

Seperti si kaya, si santri juga bukan orang yang bisa dianggap suci dari dosa. Maksiat bisa mampir di mana-mana, termasuk dalam kehidupan seorang santri. Ibnul Jauzi menjelaskan secara panjang lebar, bagaimana setan berupaya menggunakan berbagai tipu daya agar manusia tersesat. Siapa pun manusia itu, si kaya, miskin, santri, atau yang lainnya. Beliau paparkan dalam buku beliau yang fantastis, Talbisu Iblis.

Sekali waktu, cermatilah peraturan di beberapa pesantren. Sering didapati catatan tentang pelanggaran-pelanggaran berat: mencuri, menenggak minuman keras, dan homoseksual. Semuanya dianggap sebagai the worst of the three-nya pelanggaran di sana. Kenapa ketiga pelanggaran itu dicatat sebagai bentuk pelanggaran-pelanggaran terberat? Maaf, karena ketiganya ternyata sering terjadi di banyak pesantren. Aneh? Sebenarnya tidak. Kita sama sekali tidak mengecilkan arti sebuah pesantren. Sebagai lembaga pendidikan islam, pesantren telah banyak memberikan sumbangsih ilmiah, mencetak kader-kader dai bermutu, terutama sekali di pesantren-pesantren yang memperhatikan sisi perbaikan akidah dan metodologi ilmunya menurut pemahaman Rasulullah dan para Sahabat beliau. Pesantren, hingga kini tetaplah berwujud sebagai pesantren, belum berubah, dan mudah-mudahan tidak akan pernah berubah. Tapi soal kenyataan, di banyak pesantren sering terjadi pencurian, bahkan dalam skala yang kadang jauh lebih besar dari lembaga-lembaga pendidikan nonagama. Ini hanya soal keuletan iblis menipudaya manusia, di samping keteledoran sebagian kita. Kasusnya hampir sama, dengan realita kenapa pencurian sendal lebih banyak terjadi di masjid, bukan di pasar, atau bahkan di night club. Di samping itu, kecemburuan sosial bisa lebih kerap terjadi dalam kehidupan yang berbaur demikian rapat, antara si kaya dan si miskin, seperti di pondok-pondok pesantren. Sebenarnya itu merupakan pelajaran, bahwa harus ada perhatian lebih untuk menutup jalan menuju kerusakan moral, di pondok pesantren mana pun.

Begitu juga soal homoseks yang banyak terdapat di sebagian pesantren. Itu memang salah satu peluang terbaik iblis untuk menyesatkan manusia. Saat banyak di antara para santri berupaya menahan diri agar tidak tergoda maksiat dengan wanita yang bukan mahramnya, iblis menggoda satu dua di antara mereka agar tertarik pada sesama jenis. Tipuan ini amat halus, sering terjadi tanpa disadari. Mereka tidak sadar bahwa dosa homoseks atau liwath lebih besar dari dosa zina. Demikian pendapat mayoritas ulama, meski masalahnya masih kontroversial. Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama, bahkan ada yang menukil ijma’ (kesepakatan) para sahabat, menegaskan bahwa tidak ada maksiat yang lebih merusak daripada homoseksual. Daya rusaknya sedikit di bawah kekafiran” [Al-Jawabul Kafi hal. 119]

Soal menenggak minuman keras dan bentuk-bentuk pelanggaran lain, termasuk perkelahian massal, juga tidak jauh berbeda. Bahkan ada salah satu pesantren di Indonesia –penulis berharap hanya satu itu saja, dan mudah-mudahan sekarang sudah tidak ada lagi, karena hanya itu yang penulis ketahui secara pasti- yang memiliki semacam sindikat maksiat. Yakni siapa saja santri nakal yang masuk dalam sindikat itu dijamin aman melakukan berbagai maksiat. Tentu di lokasi yang mereka sepakati. Bahkan, penulis, di masa remaja dahulu, pernah melihat langsung lokasi pelacuran, di mana kelompok santri itu bisa bergantian ke sana. Saat itu, salah seorang santri sedang bermaksiat di lokasi tersebut. Wal’iyadzubillah.

Sekali lagi, ini lebih kepada soal musibah akibat bujuk rayu setan. Kasus pesantren bermasalah, atau santri bermaksiat, mungkin tak jauh berbeda dengan adanya polisi bermasalah, atau adanya aparat hukum yang terlibat kriminal. Itu soal kasus. Selebihnya, realita itu semakin membuat kita sadar bahwa memang maksiat ada di mana-mana. Terjadinya kasus-kasus seperti itu adalah kegagalan kita bersama, atau minimal kekurangwaspadaan kita bersama. Jangan karena menganggap bahwa masjid adalah tempat ibadah, maka menaruh sendal bisa sembarangan. Jangan menganggap karena pesantren adalah tempat mempelajari ilmu-ilmu agama, berarti kemaksiatan tidak mungkin terjadi di sana.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam” (Ali Imran: 102)

Renungan:

Kalau penulis harus memaparkan sekelumit peristiwa yang menunjukkan betapa lihai sang iblis memperdaya manusia, betapa ulet dan liarnya kemaksiatan itu merasuki kehidupan anak manusia, dan betapa setiap manusia tak boleh merasa aman dari godaannya, semata-mata pemaparan itu hanya ingin menegaskan bahwa dunia ilmu terlalu sakral untuk ditelusupi kebiasaan-kebiasaan hina seperti itu. Oleh sebab itu, seorang penuntut ilmu seyogyanya mencermati pelbagai pelajaran tentang macam ragam bala bencana yang bisa saja muncul dalam upaya menuntut ilmu. Bukan sekadar muncul, tapi juga merusak segala upayanya tersebut, merusak segala jalan yang mungkin membawanya ke alam ilmiah, merusak niat dan keinginan dalam hati si penuntut ilmu. Sehingga, jadilah ia sosok pribadi yang tidak lagi menaruh perhatian terhadap agama yang hendak digelutinya, seberapa pun hebatnya niat orang itu sebelumnya [Afatul ‘Ilmi oleh Muhammad bin Sa’id bin Ruslan hal 7]

Yang sering hinggap dalam hati seorang penuntut ilmu, bukan saja hasrat untuk melakukan maksiat akibat godaan iblis, tapi sekian jenis penyakit hati, bisa juga menyelinap halus ke dalam jiwanya. Penyakit-penyakit hati seperti riya’, suka pamer, ingin selalu mengungguli sesama penuntut ilmu, hasad, dengki, besar kepala, menganggap suci diri sendiri, dan berbagai penyakit hati kronis lainnya, amat mudah merambati sisi tersendiri kejiwaan para penuntut ilmu.

Dan saat Allah memperlihatkan sekian aib tersebut di hadapan sesama manusia, terkadang bisa menjadi kebaikan. Karena itu jauh lebih baik ketimbang Allah memperlihatkannya di hadapan para makhluk di hari kiamat nanti.

Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap hamba yang berdiri di dunia ini untuk berbuat riya’ dan pamer, pasti akan Allah perdengarkan aibnya itu di hadapan para makhluk di hari kiamat nanti”. Al-Mundziri menyebutkan, “Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dengan sanad hasan” [At-Targhib wat Tarhib oleh Al-Hafizh Al-Mundziri – komentar Muhammad Khalil Hirras (I: 52). Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib]

Bila kita adalah penuntut ilmu, di balai pendidikan islam man pun, cobalah sedikit lebih waspada terhadap bahaya maksiat. Karena dalam sebuah lembaga pesantren yang seringkali didindingi tembok tebal, bisa saja aksi kemaksiatan kita hanya tampak oleh segelintir orang. Tapi sadarlah bahwa kita akan sangat merugi karenanya.

Bila kita adalah para pemimpin atau pengasuh di sebuah pesantren, cobalah menatap persoalan maksiat ini secara lebih kritis. Mungkin kita sudah banyak mencekoki muatan ilmiah ke dalam benak para santri, dan bisa jadi hafalan Al-Quran mereka melimpah. Bisa juga sekian target hafalan matan-matan (teks naskah) yang kita belum hafal pun sudah dipaksakan untuk mereka hafal, dan berhasil secara gemilang. Tapi sudahkah kita menanamkan rasa takut kepada Allah sedemikian rupa? Sudahkah pelajaran tentang penyucian hati mendapat porsi yang cukup, setidaknya mampu mencegah mereka melakukan pelbagai maksiat yang memalukan? Bila jawabannya belum, berarti kita masih belum banyak berbuat. Misi penghambaan diri manusia hanya kepada Allah secara totalitas rupanya masih hanya slogan atau isapan jempol belaka...

[Disalin dari Buku “Dalam Selimut kabut Maksiat” hal. 133 – 139. Penulis: Abu Umar Basyir. Penerbit: Rumah Dzikir]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukkan komentar anda di sini

RECENT POSTS

RECENT COMMENTS