Yang penulis inginkan adalah istilah pertama. Begitu
disebut kata santri, itulah yang lebih dahulu dipahami kebanyakan orang.
Santri, sebutan untuk orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu,
belajar tentang keimanan, dan menempa diri menjadi orang shalih serta berilmu.
Seperti si kaya, si santri juga bukan orang yang bisa
dianggap suci dari dosa. Maksiat bisa mampir di mana-mana, termasuk dalam
kehidupan seorang santri. Ibnul Jauzi menjelaskan secara panjang lebar,
bagaimana setan berupaya menggunakan berbagai tipu daya agar manusia tersesat.
Siapa pun manusia itu, si kaya, miskin, santri, atau yang lainnya. Beliau
paparkan dalam buku beliau yang fantastis, Talbisu
Iblis.
Sekali waktu, cermatilah peraturan di beberapa pesantren.
Sering didapati catatan tentang pelanggaran-pelanggaran berat: mencuri,
menenggak minuman keras, dan homoseksual. Semuanya dianggap sebagai the worst of the three-nya pelanggaran di
sana. Kenapa ketiga pelanggaran itu dicatat sebagai bentuk
pelanggaran-pelanggaran terberat? Maaf, karena ketiganya ternyata sering
terjadi di banyak pesantren. Aneh? Sebenarnya tidak. Kita sama sekali tidak
mengecilkan arti sebuah pesantren. Sebagai lembaga pendidikan islam, pesantren
telah banyak memberikan sumbangsih ilmiah, mencetak kader-kader dai bermutu,
terutama sekali di pesantren-pesantren yang memperhatikan sisi perbaikan akidah
dan metodologi ilmunya menurut pemahaman Rasulullah dan para Sahabat beliau.
Pesantren, hingga kini tetaplah berwujud sebagai pesantren, belum berubah, dan
mudah-mudahan tidak akan pernah berubah. Tapi soal kenyataan, di banyak
pesantren sering terjadi pencurian, bahkan dalam skala yang kadang jauh lebih
besar dari lembaga-lembaga pendidikan nonagama. Ini hanya soal keuletan iblis
menipudaya manusia, di samping keteledoran sebagian kita. Kasusnya hampir sama,
dengan realita kenapa pencurian sendal lebih banyak terjadi di masjid, bukan di
pasar, atau bahkan di night club. Di
samping itu, kecemburuan sosial bisa lebih kerap terjadi dalam kehidupan yang
berbaur demikian rapat, antara si kaya dan si miskin, seperti di pondok-pondok
pesantren. Sebenarnya itu merupakan pelajaran, bahwa harus ada perhatian lebih
untuk menutup jalan menuju kerusakan moral, di pondok pesantren mana pun.
Begitu juga soal homoseks yang banyak terdapat di
sebagian pesantren. Itu memang salah satu peluang terbaik iblis untuk
menyesatkan manusia. Saat banyak di antara para santri berupaya menahan diri
agar tidak tergoda maksiat dengan wanita yang bukan mahramnya, iblis menggoda
satu dua di antara mereka agar tertarik pada sesama jenis. Tipuan ini amat
halus, sering terjadi tanpa disadari. Mereka tidak sadar bahwa dosa homoseks
atau liwath lebih besar dari dosa
zina. Demikian pendapat mayoritas ulama, meski masalahnya masih kontroversial.
Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama, bahkan ada yang menukil ijma’
(kesepakatan) para sahabat, menegaskan bahwa tidak ada maksiat yang lebih
merusak daripada homoseksual. Daya rusaknya sedikit di bawah kekafiran” [Al-Jawabul Kafi hal. 119]
Soal menenggak minuman keras dan bentuk-bentuk
pelanggaran lain, termasuk perkelahian massal, juga tidak jauh berbeda. Bahkan
ada salah satu pesantren di Indonesia –penulis berharap hanya satu itu saja, dan
mudah-mudahan sekarang sudah tidak ada lagi, karena hanya itu yang penulis
ketahui secara pasti- yang memiliki semacam sindikat maksiat. Yakni siapa saja
santri nakal yang masuk dalam sindikat itu dijamin aman melakukan berbagai
maksiat. Tentu di lokasi yang mereka sepakati. Bahkan, penulis, di masa remaja
dahulu, pernah melihat langsung lokasi pelacuran, di mana kelompok santri itu
bisa bergantian ke sana. Saat itu, salah seorang santri sedang bermaksiat di
lokasi tersebut. Wal’iyadzubillah.
Sekali lagi, ini lebih kepada soal musibah akibat
bujuk rayu setan. Kasus pesantren bermasalah, atau santri bermaksiat, mungkin
tak jauh berbeda dengan adanya polisi bermasalah, atau adanya aparat hukum yang
terlibat kriminal. Itu soal kasus. Selebihnya, realita itu semakin membuat kita
sadar bahwa memang maksiat ada di mana-mana. Terjadinya kasus-kasus seperti itu
adalah kegagalan kita bersama, atau minimal kekurangwaspadaan kita bersama.
Jangan karena menganggap bahwa masjid adalah tempat ibadah, maka menaruh sendal
bisa sembarangan. Jangan menganggap karena pesantren adalah tempat mempelajari
ilmu-ilmu agama, berarti kemaksiatan tidak mungkin terjadi di sana.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
beragama islam” (Ali Imran: 102)
Renungan:
Kalau penulis harus memaparkan sekelumit peristiwa
yang menunjukkan betapa lihai sang iblis memperdaya manusia, betapa ulet dan
liarnya kemaksiatan itu merasuki kehidupan anak manusia, dan betapa setiap
manusia tak boleh merasa aman dari godaannya, semata-mata pemaparan itu hanya
ingin menegaskan bahwa dunia ilmu terlalu sakral untuk ditelusupi
kebiasaan-kebiasaan hina seperti itu. Oleh sebab itu, seorang penuntut ilmu seyogyanya
mencermati pelbagai pelajaran tentang macam ragam bala bencana yang bisa saja
muncul dalam upaya menuntut ilmu. Bukan sekadar muncul, tapi juga merusak
segala upayanya tersebut, merusak segala jalan yang mungkin membawanya ke alam
ilmiah, merusak niat dan keinginan dalam hati si penuntut ilmu. Sehingga,
jadilah ia sosok pribadi yang tidak lagi menaruh perhatian terhadap agama yang
hendak digelutinya, seberapa pun hebatnya niat orang itu sebelumnya [Afatul ‘Ilmi oleh Muhammad bin Sa’id bin
Ruslan hal 7]
Yang sering hinggap dalam hati seorang penuntut ilmu,
bukan saja hasrat untuk melakukan maksiat akibat godaan iblis, tapi sekian
jenis penyakit hati, bisa juga menyelinap halus ke dalam jiwanya.
Penyakit-penyakit hati seperti riya’, suka pamer, ingin selalu mengungguli
sesama penuntut ilmu, hasad, dengki, besar kepala, menganggap suci diri
sendiri, dan berbagai penyakit hati kronis lainnya, amat mudah merambati sisi
tersendiri kejiwaan para penuntut ilmu.
Dan saat Allah memperlihatkan sekian aib tersebut di
hadapan sesama manusia, terkadang bisa menjadi kebaikan. Karena itu jauh lebih
baik ketimbang Allah memperlihatkannya di hadapan para makhluk di hari kiamat
nanti.
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap hamba
yang berdiri di dunia ini untuk berbuat riya’ dan pamer, pasti akan Allah
perdengarkan aibnya itu di hadapan para makhluk di hari kiamat nanti”. Al-Mundziri menyebutkan, “Diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dengan sanad hasan” [At-Targhib
wat Tarhib oleh Al-Hafizh Al-Mundziri – komentar Muhammad Khalil Hirras (I:
52). Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih
At-Targhib wat Tarhib]
Bila kita adalah penuntut ilmu, di balai pendidikan
islam man pun, cobalah sedikit lebih waspada terhadap bahaya maksiat. Karena
dalam sebuah lembaga pesantren yang seringkali didindingi tembok tebal, bisa
saja aksi kemaksiatan kita hanya tampak oleh segelintir orang. Tapi sadarlah bahwa
kita akan sangat merugi karenanya.
Bila kita adalah para pemimpin atau pengasuh di sebuah
pesantren, cobalah menatap persoalan maksiat ini secara lebih kritis. Mungkin
kita sudah banyak mencekoki muatan ilmiah ke dalam benak para santri, dan bisa
jadi hafalan Al-Quran mereka melimpah. Bisa juga sekian target hafalan
matan-matan (teks naskah) yang kita belum hafal pun sudah dipaksakan untuk
mereka hafal, dan berhasil secara gemilang. Tapi sudahkah kita menanamkan rasa
takut kepada Allah sedemikian rupa? Sudahkah pelajaran tentang penyucian hati
mendapat porsi yang cukup, setidaknya mampu mencegah mereka melakukan pelbagai
maksiat yang memalukan? Bila jawabannya belum, berarti kita masih belum banyak
berbuat. Misi penghambaan diri manusia hanya kepada Allah secara totalitas
rupanya masih hanya slogan atau isapan jempol belaka...
[Disalin
dari Buku “Dalam Selimut kabut Maksiat”
hal. 133 – 139. Penulis: Abu Umar Basyir. Penerbit: Rumah Dzikir]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda di sini