Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.
Tulisan ini kami nukil dari buku Jadilah
Salafi Sejati, karya Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as-Suhaimi,
Pustaka at-Tazkia, mengenai pengertian sunnah. Semoga bermanfaat bagi kita
semua.
Sunnah (secara bahasa): Thariqah dan sirah (jalan,
perjalanan hidup) baik yang baik atau buruk. (lihat an-Nihayah, Ibnu
Atsir : 2/409, dan lisan al-arab: 17/89).
Adapun pengertian sunnah secara istilah, terdiri
dari pengertian menurut istilah ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fiqih.
Sunnah (menurut ahli hadits): apa yang disandarkan
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam baik berupa ucapan, perbuatan,
ketetapan, atau sifat, baik fisik; akhlak maupun perjalanan hidup, sebelum
diangkat menjadi Nabi atau sesudahnya. (Qawaidu at-Tahdits, al-Qasimi:
64).
Sunnah (menurut ahli ushul): setiap perkara yang
dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang tidak terdapat dalam
al-Quran, tetapi diungkapkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam, baik
sebagai penjelasan al-Quran maupun tidak. (Ushul al-Ahkam, al-Amidiy:
1/169).
Sunnah (menurut ahli fiqih): setiap perkara yang
bukan wajib, dikatakan sesuatu itu sunnah yaitu bukan wajib, dan tidak pula
haram atau makruh. [Syarh al-Kaukab al-Munir (2/160)]. Jadi, arti sunnah
di sini adalah jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan tidak
berdosa.
“Tetapi makna sunnah menurut kebanyakan kalangan
salaf lebih luas dari itu, karena mereka mengartikan sunnah dengan makna yang
lebih luas dari makna menurut ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fiqih. Mereka
mengartikan sunnah sebagai setiap perkara yang sejalan dengan Kitabullah dan
sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dikatakan si fulan berada di atas sunnah, jika
amalan-amalannya sejalan dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam.
Juga dikatakan si fulan di atas bid’ah, jika
amalannya menyelisihi al-Quran dan as-Sunnah atau salah satunya”. (Jadilah
Salafi Sejati, Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as-Suhaimi, Pustaka
at-Tazkia: hal.38).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah berkata,
“Istilah sunnah menurut ungkapan salaf mencakup sunnah dalam ibadah maupun
i’tiqad, walaupun kebanyakan para penulis tentang sunnah menggunakannya untuk
perkara-perkara i’tiqad.” (al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘Anil Munkar:
hal 77).
Beliau Rahimahullah berkata: “As-Sunnah adalah
pedoman yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di atasnya berupa
keyakinan, maksud, ucapan, dan amalan.” (al-Hamawiyah: hal.2).
Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Kebanyakan para
ulama mutaakhirin mengkhususkan sunnah pada perkara yang berkaitan dengan
i’tiqad, karena itu merupakan pokok agama dan yang menyelisihinya berada dalam
bahaya yang besar.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam: hal.249).
Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as-Suhaimi berkata:
“Lafazh sunnah jika diungkapkan dalam bab i’tiqad, maka yang dimaksud adalah
agama secara sempurna, tidak sebagaimana yang diistilahkan oleh ahli hadits,
ahli ushul, atau ahli fiqih”. (Jadilah Salafi Sejati, Syaikh DR. Abdussalam
bin Salim as-Suhaimi, Pustaka at-Tazkia: hal.39).
Ibnu Rajab menambahkan, “As-Sunnah adalah jalan
yang ditempuh, mencakup: berpegang dengan pedoman yang ditempuh Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam dan para khalifahnya yang rasyidin, baik berupa i’tiqad,
amalan, maupun ucapan…”. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam: hal.262).
Namun sayang sekali, yang dikenal oleh kebanyakan
umat islam indonesia adalah sunnah menurut ahli fiqih saja. Karena itu, kaum
muslimin sekalian, marilah kita gunakan istilah sunnah sesuai tempatnya. Jangan
sampai ketika dikatakan kita wajib mengikuti sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi
wasallam, yang ada di benak kita hanya sunnah menurut ahli fiqih saja, yaitu
jika dikerjakan mendapatkan pahala jika tidak dikerjakan tidak berdosa.
Sehingga, sebagian kaum muslimin menganggap perkara shalat wajib lima waktu bagi
laki-laki di rumah, mencukur jenggot, berpakaian isbal, dan lain-lain sebagai
sesuatu yang tidak masalah dengan dalih tadi.
Wallahul musta’an.
Sebagai penutup, berikut ini kami
nukilkan kisah-kisah orang yang meremehkan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam (diambil dari muslim.or.id, www.markazassunnah.com).
Semoga menjadi hikmah bagi kita semua.
Kisah-Kisah Orang yang Meremehkan Ajaran Nabi
Berikut kami akan membawakan kisah-kisah orang yang meremehkan atau
tidak mau mengindahkan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akibat yang mereka
peroleh di dunia. Sebagian kisah ini diperoleh dari Sunan Ad Darimi pada
Bab ‘Disegerakannya hukuman di dunia bagi orang yang meremehkan perkataan Nabi
dan tidak mengagungkannya’.
Kisah Pertama: Kerabat dekat tidak mau diajak bicara lagi karena
meremehkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang khodzaf
Khodzaf adalah melempar batu atau kerikil antara dua jari telunjuk atau
antara ibu jari dan jari telunjuk atau antara bagian luar jari tengah dan
bagian dalam ibu jari. Inilah sebagian pengertian khodzaf sebagaimana yang dikatakan
oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 15/412. Istilah gampangnya adalah bermain
ketapel.
Dari Sa’id bin Jubair dari Abdullah bin Mughoffal, beliau
mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang khodzaf.
Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan,
“Binatang buruan itu tidak bisa ditangkap dengan khodzaf dan tidak
bisa digunakan untuk memerangi musuh. Khodzaf itu hanya mematahkan gigi dan
mencungkil mata.”
Kemudian seseorang -yang masih ada hubungan keluarga
dengan Sa’id- mengambil sesuatu di tanah. Lalu dia berkata, “Lihatlah ini.
Tahukah yang akan diperbuat?” Kemudian Sa’id mengatakan, “Bukankah aku telah
memberitahukan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu engkau menganggap
remeh? Sungguh,
aku tidak akan berbicara kepadamu selamanya.”
Husain Salim Asad mengatakan bahwa hadits ini juga terdapat dalam
shohih Bukhari-Muslim dan sanadnya shohih.
Kisah Kedua: Tidak mau diajak bicara lagi karena meremehkan hadits
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Qotadah, beliau berkata bahwa Ibnu Sirin mengatakan kepada
seseorang sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia mengatakan,
“Akan tetapi si A mengatakan demikian dan demikian.” Lalu Ibnu Sirin
mengatakan, “Saya mengatakan kepadamu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu
kamu malah berkata si A mengatakan demikian dan demikian? Aku tidak akan
berbicara kepadamu selamanya.”
Husain Salim Asad mengatakan bahwa jalur dari Sa’id bin Basyir, itu
sanadnya berderajat hasan.
Kisah Ketiga: Tertimpa kecelakaan karena tidak mau menghiraukan
hadits Nabi yang melarang keluar masjid setelah adzan
Abdurrahman bin Harmalah mengatakan, “Seorang laki-laki datang
menemui Sa’id bin Al Musayyib untuk menitipkan sesuatu karena mau berangkat haji dan umroh. Lalu Sa’id mengatakan
kepadanya, “Janganlah pergi, hendaklah kamu shalat terlebih dahulu karena
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah
keluar dari masjid setelah adzan kecuali orang munafik atau orang yang ada
keperluan dan ingin kembali lagi ke masjid.”
Lalu orang ini mengatakan, “(Tetapi) teman-temanku sedang menunggu
di Al Harroh.” Lalu dia keluar (dari masjid). Belum lagi Sa’id menyayangkan
kepergiannya, tiba-tiba dikabarkan orang ini telah jatuh dari kendaraannya
sehingga pahanya patah.”
Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
Tambahan kisah berikut, kami peroleh dari sumber rujukan lainnya.
Kisah Keempat: Diperintahkan makan dengan tangan kanan namun enggan
Terdapat sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Muslim.
Dari Ikrimah bin ‘Ammar, (beliau berkata) Iyas bin Salamah bin Al
Akwa’ telah berkata bahwa ayahnya mengatakan kepadanya (yaitu) ada seorang
laki-laki makan dengan tangan kirinya di dekat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Makanlah dengan
tangan kananmu.” Lalu dia mengatakan, “Aku tidak mampu.” Maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Engkau memang tidak akan mampu”. Tidak
ada yang menghalanginya untuk menaati Nabi kecuali rasa sombong. Akhirnya, dia
tidak bisa lagi mengangkat tangan kanannya ke mulut. (HR. Muslim no. 5387)
An Nawawi dalam Syarh Shohih Muslim mengatakan, “Perkataan ‘Tidaklah ada
yang menghalanginya kecuali rasa sombong’, ini bukan berarti dia
adalah munafik. Karena semata-mata ada rasa sombong dan menyelisihi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, tidaklah mengharuskan adanya nifak dan kekufuran
dalam diri seseorang. Akan tetapi perbuatan ini adalah maksiat, mengingat
perintah itu adalah perintah yang harus diperhatikan.”
Kisah Kelima: Menganggap remeh sunnah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika bangun tidur di malam hari
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il At Taimiy -dalam penjelasan
beliau terhadap shohih Muslim- berkata, “Aku telah membaca di sebagian kisah
(hikayat) mengenai sebagian ahli bid’ah ketika mendengar hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika
salah seorang di antara kalian bangun tidur, maka janganlah dia mencelupkan
tangannya di dalam bejana sampai dia mencucinya tiga kali terlebih dahulu,
karena dia tidak tahu di manakah tangannya bermalam.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dalam rangka mengejek, ahli bid’ah ini berkata, “Ya, saya tahu ke
mana tangan saya bermalam di ranjang!!” Lalu tiba-tiba pada saat pagi, dia
dapati tangannya berada dalam dubur sampai pergelangan tangan.
At Taimiy berkata, “Oleh karena itu hendaklah seseorang
berhati-hati untuk meremehkan sunnah
(petunjuk) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kondisi-kondisi yang menuntut diam. Lihatlah
apa yang terjadi pada orang ini karena akibat dari perbuatannya.” (Bustanul
‘Arifin li An Nawawi. Dinukil dari Ta’zimus Sunnah, hal. 19-20, Darul
Qosim)
Kisah keenam: Melecehkan sunnah bersiwak
Quthbuddin al-Yuniini –rahimahullah- mengatakan: Telah
sampai kepada kami sebuah kisah tentang seorang laki-laki dari Bushra yang
kenal dengan nama Abu Salamah, dia dikenal sebagai orang yang buruk agamanya
dan sebagai pengikut hawa nafsu. Pada suatu ketika dijelaskan kepadanya tentang
siwak dan keutamaannya, lalu dia mengatakan: Demi Allah, saya tidak akan
menggunakan siwak kecuali untuk membersihkan dubur, maka seketika itu dia
mengambil siwak dan memasukkannya ke dalam duburnya lalu mengeluarkannya
kembali [dia melakukan hal tersebut untuk melecehkan sunah Nabi], setelah dia
melakukan perbuatan tersebut maka selama sembilan bulan dia merasakan sakit di
dalam perutnya dan duburnya. Beberapa waktu kemudian, keluar dari duburnya
seorang anak yang menyerupai tikus, memiliki empat buah kaki, kepalanya seperti
ikan, dan duburnya seperti kelinci, ketika hewan tersebut keluar dari duburnya
serentak berteriak tiga kali, lalu bangkitlah anak perempuan dari orang
tersebut dan melempar kepala hewan tersebut dengan batu sampai mati, dan orang
yang duburnya mengeluarkan hewan tersebut [yang melecehkan dan mengolok-olok
siwak] meninggal tiga hari kemudian, dia selalu berkata: hewan ini yang
membunuhku dan memotong-motong ususku. Dan cukup banyak penduduk daerah
tersebut yang menyaksikan kisah ini, bahkan sebagian dari mereka sempat
menyaksikan hewan tersebut ketika hidup, dan sebagian yang lainnya menyaksikan
hewan tersebut dalam keadaan telah mati [Lihat al-Bidayah wan Nihayah,
kejadian tahun 665 H.]
Semoga pembahasan ini semakin membuat kita mengagungkan ajaran Nabi
shallallahu
‘alaihi wa sallam dan berhati-hati dengan lisan agar tidak sampai
melecehkan satu pun ajarannya seperti cadar,
celana di
atas mata kaki, dan jenggot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda di sini