Tarekat/Tariqat/Tariqah Naqshbandiyah/Naqsyabandiyah merupakan
salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat
banyak di wilayah Asia serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan
wilayah Dagestan, Russia.
Kata Naqsyabandiyah/Naqsyabandi/Naqshbandi نقشبندی berasal dari Bahasa Arab iaitu Murakab Bina-i dua kalimah Naqsh dan Band yang bererti suatu ukiran yang terpateri, atau mungkin juga dari Bahasa Persia, atau diambil dari nama pendirinya yaitu Baha-ud-Din Naqshband.
Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai “pembuat gambar”,
“pembuat hiasan”. Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai “Jalan Rantai”,
atau “Rantai Emas”.
Tarekat ini didirikan oleh Imam Tariqat Hadhrat Khwajah
Khwajahgan Sayyid Shah Muhammad Bahauddin Naqshband Al-Bukhari Al-Uwaisi
, dilahirkan pada bulan Muharram tahun 717 Hijrah bersamaan
1317 Masihi iaitu pada abad ke 8 Hijrah bersamaan dengan abad ke 14
Masihi di sebuah perkampungan bernama Qasrul ‘Arifan berdekatan Bukhara.
Ia menerima pendidikan awal Tariqat secara Zahir dari gurunya Hadhrat
Sayyid Muhammad Baba As-Sammasi dan seterusnya menerima rahsia-rahsia Tariqat dan Khilafat dari Syeikhnya, Hadhrat Sayyid Amir Kullal .
Shah Naqshband telah berkata: Pada suatu hari aku dan sahabatku sedang bermuraqabah, lalu pintu langit terbuka dan gambaran Musyahadah hadir kepadaku lalu aku mendengar satu suara berkata, “Tidakkah cukup bagimu untuk meninggalkan mereka yang lain dan hadir ke Hadhrat Kami secara berseorangan?”………….
********
Berikut ini kisah perjalanan dakwah Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafidzahullah
sebelum beliau mengenal dakwah Salafiyah. Bagaimana kesesatan Shufi
yang banyak menyimpang dari tauhid menemani langkah dakwah beliau.
Mengikuti Thariqat Naqsabandiyah
Sejak
kecil saya selalu mengikuti pelajaran dan halaqoh dzikir di masjid.
Suatu ketika, pemimpin tarekat Naksabandiyyah melihatku, lalu ia
mengajakku ke pojok masjid dan memberiku wirid-wirid tarekat
Naksabandiyyah. Namun, karena usiaku yang masih belia, saya belum mampu
membaca wirid-wirid itu sesuai dengan petunjuknya, tetapi saya tetap
mengikuti pelajaran mereka bersama teman-teman saya dari pojokan masjid.
Saya mendengar lantunan qasidah dan nyanyian mereka, dan ketika sampai pada penyebutan nama syaikh mereka, dengan serta merta mereka meninggikan dan mengeraskan suara. Teriakan keras di tengah malam ini sangat menggangguku dan membuatku takut dan merinding.
Dan ketika usiaku semakin menajak dewasa, salah seorang kerabat
mengajakku ke masjid di daerah kami untuk mengikuti acara yang mereka
namakan al-khatam. Kami duduk melingkar, kemudian salah seorang syaikh
membagikan kepada kami batu-batu kecil dan berkata:”Al-Fatihah
Asy-Syarif dan Al-Ikhlash Asy-Syarif”.
Lalu dengan jumlah batu-batu kecil itu kami membaca surat Al-Fatihah,
surat Al-Ikhlash, istighfar dan sholawat dengan bentuk bacaan sholawat
yang telah mereka hafal.
Diantara bentuk sholawat yang saya ingat adalah
اللّهُمَ صَلِّ عَلىَ محَُمَّدٍ عَدَدَ الدَّوَابِّ
“Ya Allah, berilah sholawat untuk Muhammad sebanyak binatang melata”
Mereka membaca sholwat ini dengan suara keras di akhir dzikir. Dan
selanjutnya, syaikh yang ditugaskan itu menutupnya dengan ucapan
rabithah syarifah (ikatan mulia). Mereka mengucapkannya dengan tujuan
membayangkan wujud syaikhnya saat menyebut namanya, karena syaikh itulah
–menurut mereka- yang mengikat mereka dengan Allah Azza wa Jalla.
Mereka merendahkan suara kemudian berteriak dan terbuai dalam kekhusyu’an, saat
itu saya melihat salah seorang diantara mereka melompat ke atas kepala
orang-orang yang hadir dari tempat yang tinggi karena kesedihan yang
mendalam bagaikan permainan sulap. Saya heran dengan tingkah dan suara
yang keras ini ketika menyebut nama syaikh tarekat mereka.
Suatu ketika saya berkunjung ke rumah salah seorang kerabatku dan
mendengarkan lantunan nyanyian dari kelompok tarekat Naksabandiyyah,
yang berbunyi:
دَلُوْنِيْ بِاللهِ دَلُوْنِيْ # # # # # عَلَى شَيْخِ النَّصْرِ دَلُوْنِي
Tunjuki aku, demi Allah, tunjuki aku. Kepada syaikh penolong, tunjuki aku
اللَّي يُبْرِي العَلِيْلَ ##### وَيَشْفِي المَجْنُوْنَا
Syaikh yang menyembuhkan orang yang sakit. Dan menyembuhkan orang yang gila
Saya berdiri di depan pintu rumah, dan belum sempat masuk ke dalam,
lalu berkata kepada tuan rumah:”Apakah syaikh itu yang menyebabkan orang
yang sakit dan orang gila?”. Ia menjawab: ”Ya, yang telah
diberikan Allah Azza wa Jalla mukjizat menghidupkan orang yang mati,
menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan orang yang berpenyakit
sopak, tetapi ia tetap mengatakan “dengan izin Allah”.
Kemudian ia berkata kepadaku:”Dan syaikh kami juga melakukannya
dengan izin Allah”. Lalu saya menyanggahnya:”Tetapi mengapa Anda tadi
tidak mengatakannya ‘dengan izin Allah’?”.
Karena penyembuh yang sebenarnya adalah Allah Azza wa Jalla semata, sebagaimana perkataan Ibrohim ‘alaihi salam dalam Al-Qur’an:
{وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ} (80) سورة الشعراء
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS. Asy-Syu’ara: 80).
*****
Beberapa Catatan Tentang Thariqat Naqsabandiyah
2. Dzikir-dzikir yang dilakukan
secara berkelompok dan pembagian batu-batu kecil untuk setiap orang,
lalu mereka diperintahkan membaca sesuatu dan meletakkan batu-batu kecil
di dalam gelas berisi air untuk diminum dengan niat kesembuhan, semuanya
itu adalah termasuk perbuatan bid’ah yang pernah diingkari oleh salah
seorang sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, Abdullah bin Mas’ud
radhiallahu ‘anhu ketika masuk ke dalam masjid dan melihat sekelompok
orang yang duduk melingkar dan ditangan mereka terdapat batu-batu kecil.
Salah seorang diantara mereka berkata:”Bertasbihlah kalian sebanyak
batu-batu kecil yang ada di tangan kalian!”.
Beliau mencela perbuatan mereka sambil berkata:”Perbuatan apa yang
kalian lakukan ini?”.Mereka menjawab:’Wahai Abu Abdurrahman, kami
bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan batu-batu ini”. Lalu beliau
berkata:”Hitunglah dosa-dosa kalian, dan saya menjamin bahwa segala
kebaikanmu tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celakalah kalian wahai
umat Muhammad, mengapa begitu cepat kalian binasa? Sahabat-sahabat Rasul
kalian masih banyak yang masih hidup, baju mereka belum hancur, perabot
mereka belum pecah, dan demi jiwaku ada di tangan-Nya. Apakah petunjuk
kalian lebih baik dari petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam?
Ataukah kalian telah membuka pintu kesesatan?!” [1]
Jika kita menggunakan logika yang murni, apakah mungkin petunjuk
mereka yang lebih baik dari pada petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam, karena mereka telah mendapatkan taufik (petunjuk) untuk
melaksanakan suatu amalan yang tidak diketahui oleh beliau shalallahu
‘alaihi wa sallam?, atau mungkin mereka yang sesat?. Kemungkinan pertama
jelas salah, karena tidak ada seorangpun yang lebih baik dari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jika demikian, berarti tersisa
kemungkinan yang terakhir.
3. Rabithah Syarifah (ikatan
mulia). Istilah ini menurut mereka adalah gambaran wujud syaikh,
seolah-olah ia datang mengawasi mereka ketika namanya disebut dalam
dzikir. Sehingga kita dapat melihat bagaimana mereka
melakukannya dengan penuh kekhusyu’an dan berteriak-teriak dengan suara
yang tidak jelas. Dan inilah derajat ihsan yang sebenarnya, yang menurut
mereka dijelaskan dalam sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
الإحسان أن تعبد الله كأنك تراه, فإن لم تكن تراه فإنه يراك (رواه مسلم).
“Ihsan itu adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihat-Nya, jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Ia
melihatmu” (HR. Muslim).
Dalam hadits ini, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam memberikan
petunjuk agar kita menyembah Allah seakan-akan kita melihat-Nya, dan
jika kita tidak meliaht-Nya, maka sesungguhnya Dia melihat kita. Inilah
derajat ihsan yang ditujukan hanya kepada Allah Azza wa jalla semata.
Tetapi mereka justru mempersembahkan ihsan itu untuk syaikh mereka. Dan
ini termasuk perbuatan syirik yang dilarang Allah Azza wa Jalla dalam
firman-Nya:
{وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا …} (36) سورة النساء
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun…”(QS. An-Nisa: 36).
Jadi, dzikir itu adalah ibadah yang hanya ditujukan kepada Allah Azza
wa Jalla semata dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dengan yang lain.
Walaupun ia malaikat, seorang Rasul maupun seorang syaikh yang justru
kedudukannya di bawah para Rasul. Sehingga larangan mempersekutukan
Allah Azza wa Jalla dengan mereka menjadi lebih jelas. Sebenarnya
penggambaran syaikh mereka ketika menyebutkan namanya juga terdapat
dalam tarekat Syadzaliyyah.
4. Teriakan keras yang mereka lakukan ketika menyebut nama syaikh mereka atau ketika memohon pertolongan kepada selain Allah, seperti
kepada ahlul bait dan orang-orang yang dekat kepada Allah Azza wa Jalla
adalah termasuk perbuatan mungkar bahkan termasuk perbuatan syirik yang
sangat dilarang.
Berteriak dengan suara keras ketika menyebut nama Allah Azza wa Jalla
adalah suatu kemungkaran, karena bertentangan dengan firman Allah:
{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ …} (2) سورة الأنفال
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka…”(QS. Al-Anfal: 2).
Juga bertentangan dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:
أيها الناس اربعوا على أنفسكم, فإنكم لا تدعون أصم ولا غائبا, إنكم تدعون سميعا قريبا وهو معكم (رواه البخاري و مسلم).
“Wahai manusia sekalian, kasihanilah diri kalian (pelan-pelan dalam
berdo’a) karena kalian tidak memanjatkan do’a kepada Dzat yang tuli dan
Dzat yang tiada, tetapi kalian memanjatkan do’a kpada Yang Maha
Mendengar dan Maha Dekat, dan Dia selalu bersamamu” (HR. Bukhori;
Muslim).
Bila menyebut nama Allah Azza wa Jalla dengan suara yang keras itu
dilarang, maka berteriak, khusyu’ dan menangis ketika menyebut nama
syaikh mereka termasuk kemungkaran yang lebih besar. Karena perbuatan
ini termasuk bentuk “kegembiraan” yang digambarkan oleh Allah Azza wa
Jalla tentang keadaan orang-orang musyrik dalam firman-Nya:
{وَإِذَا
ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
بِالْآخِرَةِ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ
يَسْتَبْشِرُونَ} (45) سورة الزمر
“Dan apabila hanya nama Allah saja disebut, kesallah hati orang-orang
yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama
sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang
hati”(QS. Az-Zumar: 45).
5. Sikap ghuluw terhadap tarekat serta keyakinan bahwa syaikh mereka itulah yang dapat menyembuhkan orang yang sakit. Padahal Allah Azza wa Jalla menyebutkan perkataan Nabi Ibrohim dalam Al-Qur’an:
{وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ} (80) سورة الشعراء
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku (QS. Asy-Syu’ara: 80).
Demikian juga dengan kisah seorang pemuda mukmin yang berdo’a kepada
Allah untuk orang-orang yang sakit, lalu Allah Azza wa Jalla
menyembuhkan mereka, ketika seorang kerabat raja berkata kepadanya:”Kamu
akan mendapatkan harta yang banyak ini, jika engkau dapat
menyembuhkanku”. Kemudian pemuda itu berkata:”Saya tidak dapat
menyembuhkan seseoang, karena yang dapat menyembuhkan itu adalah Allah
Azza wa Jalla, jika engkau beriman kepada Allah Azza wa Jalla maka saya
akan memohon kepada Allah Azza wa Jalla dan menyembuhkanmu” (HR.
Muslim).
6. Penyebutan lafadz tunggal
“Allah” ribuan kali adalah wirid mereka. Padahal dzikir dengan
menggunakan lafadz “Allah” tidak memiliki landasan syar’I, baik
dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, para
tabi’in, maupun dari para imam-imam mujtahidin. Perbuatan ini diadopsi
dari perbuatan bid’ah orang-orang shufi. Karena lafadz “Allah” dalam
bahasa arab adalah mubtada’ yang tidak mengandung khobar, sehingga
kalimat itu menjadi tidak lengkap.
Seandainya seseorang menyebut nama “Umar” berkali-kali dan kita
bertanya kepadanya:”Apa yang Anda inginkan dari Umar?”. Kemudian orang
tersebut tidak menjawab apa-apa kecuali dengan menyebutkan nama “Umar,
Umar…” berkali-kali, maka kita tidak akan mengatakan bahwa ia adalah
orang gila, tidak memahami apa yang ia ucapkan.
Orang-orang shufi ketika berdzikir dengan menggunakan lafadz tunggal tersebut, berdalil dengan firman Allah Azza wa Jalla:
{… قُلِ اللّهُ …} (91) سورة الأنعام
“Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)” (QS. Al-An’am: 91).
Seandainya mereka membaca penggalan ayat sebelumnya, tentu mereka
akan paham, bahwa maksud ayat itu adalah:”Katakanlah: Allah-lah yang
menurunkan kitab itu”.
Adapun nash ayat yang dimaksud adalah firman-Nya:
{وَمَا
قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَى
بَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى
نُورًا وَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا
وَتُخْفُونَ كَثِيرًا وَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ
آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ} (91)
سورة الأنعام
Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang
semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun
kepada manusia.” Katakanlah: “Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat)
yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu
jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu
perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya,
padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu
tidak mengetahui(nya) ?” Katakanlah: “Allah-lah (yang menurunkannya)”
(QS. Al-An’am: 91).
Maksudnya adalah:”Katakanlah: Allah-lah yang menurunkan kitab Taurat itu”.
Catatan Kaki:
[1] HR. Ad-Darimi dan Ath-Thabariy. Hadits Hasan.
******
TAREKAT SUFI NAQSYABANDIYAH
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya: Ada
sebuah perkumpulan wanita dari Kuwait. Mereka menyebarkan dakwah sufi
beraliran Naqsyabandiyah secara sembunyi-sembunyi perkumpulan wanita
tersebut berada dibawah naungan lembaga resmi.
Kami telah mempelajari kitab-kitab mereka & berdasarkan
pengakuan mereka yg pernah ikut perkumpulan wanita ini tarekat ini
memiliki pemahaman diantaranya:
(a). Barangsiapa yg tdk mempunyai syaikh maka yg menjadi syaikhnya adalah syetan.
(b). Barangsiapa yg tdk bisa mengambil ahlak syaikh/gurunya maka tdk akan bermanfaat baginya Kitab & Sunnah.
(c). Barangsiapa yg mengatakan pd syaikhnya “Mengapa begitu?” Maka tak akan sukses selamanya.
(b). Barangsiapa yg tdk bisa mengambil ahlak syaikh/gurunya maka tdk akan bermanfaat baginya Kitab & Sunnah.
(c). Barangsiapa yg mengatakan pd syaikhnya “Mengapa begitu?” Maka tak akan sukses selamanya.
Selain itu mereka berdzikir (dengan tata cara sufi tentunya)
seraya membawa gambar syaikhnya. Mereka suka mencium tangan gurunya yg
bergelar Al-Anisaa & berasal dari negeri Arab. Mereka menganggap
akan mendapat berkah dg meminum air sisa sang gurunya.
Mereka menulis do’a dg do’a khusus yg dinukil dari buku
Al-Lu’lu wa Al-Marjan Fi Taskhiri Muluki Al-Jann. Dan dalam lapangan
pendidikan perkumpulan ini membangun madarasah khusus utk kalangan
sendiri mereka didik anak-anak berdasarkan ide-ide kelompoknya bahkan
ada di antaranya yg mengajar di sekolah-sekolah negeri umum baik jenjang
setingkat SMP maupun SMA. Sebagian mereka ada yg berpisah dg suami
& meminta cerai lewat pengadilan hal itu terjadi manakala sang suami
menyuruh sang istri agar menjauh dari aliran yg sesat ini.
Pertanyaan yg kami ajukan:
. Bagaimanakah menurut syariat tentang perkumpulan wanita tersebut?.
. Diperbolehkan mengawini mereka?.
. Bagaimana pula hukumnya dg akad nikah yg telah berlangsung selama ini?.
. Sekarang nasihat & ancaman yg bagaimana yg pantas utk mereka?.
Mohon penjelasan.
. Bagaimanakah menurut syariat tentang perkumpulan wanita tersebut?.
. Diperbolehkan mengawini mereka?.
. Bagaimana pula hukumnya dg akad nikah yg telah berlangsung selama ini?.
. Sekarang nasihat & ancaman yg bagaimana yg pantas utk mereka?.
Mohon penjelasan.
Jawaban.
Tarekat sufi salah satunya Naqsyabandiyah adalah aliran sesat &
bid’ah menyeleweng dari Kitab & Sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Artinya: Jauhilah oleh kalian perkara baru karena sesuatu yg baru
(di dalam agama) adalah bid’ah & setiap bid’ah adalah sesat”.
(Hadits Shahih Riwayat Ahmad Abu Dawud Ibnu Majah Tirmidzi & Hakim)
Tarekat sufi tdk semata bid’ah. Bahkan di dalamnya terdapat banyak
kesesatan & kesyirikan yg besar hal ini dikarenakan mereka
mengkultuskan syaikh/guru mereka dg meminta berkah darinya &
penyelewengan-penyelewengan lainnya bila dilihat dari Kitab &
Sunnah. Diantaranya pernyataan-pernyataan kelompok sufi sebagaimana
telah diungkap oleh penanya.
Semua itu adalah pernyataan yg batil & tdk sesuai dg Al-Qur’an
& Sunnah sebab yg patut diterima perkataannya secara mutlak adalah
perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman
Allah.
“Artinya: Apa yg diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yg dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (Al-Hasyr: 7)
“Artinya: Dan tidaklah yg diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya”. (An-Najm: 3)
Adapun selain Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam walau bagaimana
tinggi ilmunya perkataannya tdk bisa diterima kecuali kalau sesuai dg
Al-Kitab & Sunnah. Adapun yg berpendapat wajib metaati seseorang
selain Rasul secara mutlak hanya lantaran memandang “si dia/orang”nya
maka ia murtad (keluar dari Islam). Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya: Mereka menjadikan orang-orang alimnya & rahib-rahib
mereka sebagai Rabb selain Allah & (juga mereka menjadikan Rabb)
Al-Masih putera Maryam ; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah
Yang Maha Esa ; tdk ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha
Suci Allah dari apa yg mereka persekutukan”. (At-Taubah: 31)
Ulama menafsirkan ayat ini bahwa makna kalimat “menjadikan para rahib
sebagai tuhan” ialah bila mereka menta’ati dalam menghalalkan apa yg
diharamkan & mengharamkan apa yg dihalalkan. Hal ini diriwayatkan
dalam hadits Adi bin Hatim.
Maka wajiblah berhati-hati terhadap aliran sufi baik dia laki-laki /
perempuan demikianlah pula terhadap mereka yg berperan dalam pengajaran
& pendidikan yg masuk kedalam lembaga-lembaga. Hal ini agar tdk
merusak aqidah kaum muslimin.
Lantas diwajibkan pula kepada seorang suami utk melarang orang-orang
yg menjadi tanggung jawabnya agar jangan masuk ke dalam lembaga-lembaga
tersebut ataupun sekolah-sekolah yg mengajarkan ajaran sufi. Hal ini
sebagai upaya memelihara aqidah serta keluarga dari perpecahan &
kebejatan para istri terhadap suaminya.
Barangsiapa yg merasa cukup dg aliran sufi maka ia lepas dari manhaj
Ahlus Sunnah wa Jamaah jika berkeyakinan bahwa syaikh sufi dapat
memberikan berkah / dapat memberikan manfa’at & madharat
menyembuhkan orang sakit memberikan rezeki menolak bahaya / berkeyakinan
bahwa wajib menta’ati setiap yg dikatakan gurunya/syaikh walaupun
bertentangan dg Al-Kitab & As-Sunnah.
Barangsiapa berkeyakinan dg semuanya itu maka dia telah berbuat
syirik terhadap Allah dg kesyirikan yg besar dia keluar dari Islam
dilarang berloyalitas padanya & menikah dengannya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman.
“Artinya: Dan janganlah kalian nikahi wanita-wanita musyrikah sebelum
mereka beriman ………. Dan janganlah kalian menikahkan (anak perempuan) dg
laki-laki musyrik sebelum mereka beriman ……..”. (Al-Baqarah: 221)
Wanita yg telah terpengaruh aliran sufi akan tetapi belum sampai pd
keyakinan yg telah kami sebutkan diatas tetap tdk dianjurkan utk
menikahinya. Entah itu sebelum terjadi aqad ataupun setelahnya kecuali
bila setelah dinasehati & bertaubat kepada Allah.
Yang kita nasehatkan adalah bertaubat kepada Allah kembali kepada yg
haq meninggalkan aliaran yg batil ini & berhati-hati terhadap
orang-orang yg menyeru kepada kejelekan-kejelekan. Hendaknya berpegang
teguh dg manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah membaca buku-buku bermanfa’at
yg berisi tentang aqidah yg shahih mendengarkan pelajaran muhadharah
& acara-acara yg berfaedah yg dilakukan oleh ulama yg berpegang dg
teguh pd manhaj yg benar.
Juga kita nasehatkan kepada para istri agar taat kepada suami mereka
& orang-orang yg bertanggung jawab dalam hal-hal yg ma’ruf.
Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda di sini