Belum Baligh, Sebaiknya Tidak Full Pondok Pesantren
Bagi para orang tua, mohon dipertimbangkan jika memasukkan anak yang belum usia baligh ke full pondok pesantren misalnya usia anak di sekolah dasar yang umumnya berumur 6-12 tahun. Sebaiknya anak yang masih kecil dan belum baligh TIDAK masuk full pondok pesantren. Artinya terpisah dari orang tuanya terutama ibunya, hanya bertemu ketika liburan akhir semester. Perpisahan ini cukup lama. Dari sisi psikologi anak, juga kurang bijak anak yang masih kecil dan belum baligh terpisah dari orang tuanya.
Anak yang belum baligh sangat butuh
perhatian lebih dan kasih sayang. Tentu berbeda dengan kasih sayang dan
perhatian yang diberikan oleh para pengajar ustadz dan ustadzah di pondok
pesantren. Masa kecil adalah masa berbahagia di mana orang tua perlu sekali
membina interaksi dan kenangan yang menyenangkan dengan sang anak agar dekat
dengan mereka, sehingga mudah mendidik, membimbing dan memberi nasehat. Salah
satu solusi, anak bisa dimasukkan ke sekolah atau pondok pesantren yang tidak
program full di pondok pesantren. Misalnya pagi sampai siang masuk sekolah,
selebihnya berada dalam pendidikan dan kasih sayang orang tua.
Akan tetapi jika memang ada
mashlahat dan kebaikan yang lebih banyak dengan berdasarkan musyawarah dan
pertimbangkan yang matang, pada keadaan tertentu bisa saja anak yang belum
baligh dimasukan full pondok pesantren, tetapi perlu diingat hukum asalnya anak-anak
yang belum baligh sebaiknya bersama kasih sayang orang tua. Demikian juga
semisal anak laki-laki yang sudah akan masuk Usia SMP/SLTP mungkin akan
menjelang usia baligh (tetapi belum baligh), bisa dipertimbangkan masuk full
pondok pesantren.
Mohon diperhatikan beberapa
hadits-hadits berikut yang memberikan faidah bahwa ibu (orang tua) tidak
diperkenankan berpisah dengan anaknya terutama yang masih belum baligh. Hal ini
menunjukkan pentingnya perhatian kasih sayang dan kedekatan orang tua terutama
ibu pada anak yang masih belum baligh.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ
فَرَّقَ بَيْنَ الْوَالِدَةِ وَوَلَدِهَا فَرَّقَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ
أَحِبَّتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa memisahkan antara ibu
dan anaknya, maka Allah akan memisahkan dia dan orang yang dicintainya kelak di
hari kiamat.” [1]
Batas usia tidak boleh dipisahkan
adalah sampai usia baligh, sebagaimana dalam hadits berikut. Sahabat Ubadah bin
Shamit radhiallahu ‘anhu berkata,
نهى
رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يفرق بين الأم وولدها . فقيل : يا رسول الله إلى
متى ؟ قال : حتى يبلغ الغلام ، وتحيض الجارية
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam melarang memisahkan antara ibu dan anaknya. Ada yang bertanya pada
beliau, ‘Wahai Rasulullah, sampai kapan?’ Beliau menjawab, ‘Sampai mencapai
baligh bila laki-laki dan haidh bila perempuan.’”[2]
Besarnya
Perhatian dan Kasih Sayang Ibu
Hak pengasuhan anak selama masih
belum tamyiz (usia tujuh tahun umumnya) adalah utamanya di tangan istri selama
istri tidak menikah lagi. Ingat juga, hak pengasuhan anak (Hadhanah) perlu
diputuskan dengan banyak pertimbangan dari hakim/qadhi. Pembahasan ini juga
terdapat faidah lain yaitu pentingnya perhatian, kasih sayang dan kedekatan
orang tua terutama ibu pada anak yang masih belum baligh.
Ibnul Qayyim menjelaskan,
: ﻓﺈﻧﻪ ﺟﻌﻞ ـ ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﺸﺎﺭﻉ ـ ﺍﻷﻡ ﺃﺣﻖ ﺑﺎﻟﻮﻟﺪ ﻣﻦ ﺍﻷﺏ، ﻣﻊ ﻗﺮﺏ ﺍﻟﺪﺍﺭ
ﻭﺇﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﻠﻘﺎﺀ ﻛﻞ ﻭﻗﺖ ﻟﻮ ﻗﻀﻲ ﺑﻪ ﻟﻸﺏ، ﻭﻗﻀﻰ ﺃﻥ ﻻ ﺗﻮﻟﻪ ﻭﺍﻟﺪﺓ ﻋﻠﻰ ﻭﻟﺪﻫﺎ، ﻭﺃﺧﺒﺮ ﺃﻥ ﻣﻦ
ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﻭﺍﻟﺪﺓ ﻭﻭﻟﺪﻫﺎ ﻓﺮﻕ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻴﻨﻪ ﻭﺑﻴﻦ ﺃﺣﺒﺘﻪ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ، ﻭﻣﻨﻊ ﺃﻥ ﺗﺒﺎﻉ ﺍﻷﻡ ﺩﻭﻥ
ﻭﻟﺪﻫﺎ ﻭﺍﻟﻮﻟﺪ
“Pembuat syariat (Allah) menjadikan
ibu lebih berhak mengasuh anak dari bapak karena dekatnya dan memungkinkan
bertemu setiap waktu. Jika qadhi memutuskan hak asuh pada bapaknya, tidak boleh
melarang ia bertemu dengan ibunya.”[3]
Ini juga sesuai dengan hadits
mengenai ibu lebih berhak mengasuh anak yang masih dari sang bapak. Dari
‘Abdullah bin ‘Amr, bahwasanya ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah
mengadukan masalahnya. Wanita itu berkata,
ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ
ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﺍﺑْﻨِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺑَﻄْﻨِﻲ ﻟَﻪُ ﻭِﻋَﺎﺀً ﻭَﺛَﺪْﻳِﻲ ﻟَﻪُ ﺳِﻘَﺎﺀً
ﻭَﺣِﺠْﺮِﻱ ﻟَﻪُ ﺣِﻮَﺍﺀً ﻭَﺇِﻥَّ ﺃَﺑَﺎﻩُ ﻃَﻠَّﻘَﻨِﻲ ﻭَﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋَﻪُ
ﻣِﻨِّﻲ
“Wahai Rasulullah. Anakku ini
dahulu, akulah yang mengandungnya. Akulah yang menyusui dan memangkunya. Dan
sesungguhnya ayahnya telah menceraikan aku dan ingin mengambilnya dariku.”
Mendengar pengaduan wanita itu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab,
ﺃَﻧْﺖِ
ﺃَﺣَﻖُّ ﺑِﻪِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﺗَﻨْﻜِﺤِﻲ
“Engkau lebih berhak mengasuhnya
selama engkau belum menikah.” [4]
Terdapat hadits larangan memisahkan
anak hewan yaitu burung dari induknya. Silahkan direnungkan, untuk hewan saja,
ada larangan jangan sampai anak terpisah dari induknya, apalagi manusia. Ini
juga renungkan bagi, ibu yang terlalu sibuk mengejar karir sehingga terpisah
dan sangat jarang berjumpa dengan anak-anak yang wajib ia asuh.
Dari Abdullah bin Mas’ud beliau
berkata,
ﻛﻨَّﺎ
ﻣﻊ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺳﻔﺮ، ﻓﺎﻧﻄﻠﻖ ﻟﺤﺎﺟﺘﻪ ﻓﺮﺃﻳﻨﺎ ﺣُﻤﺮﺓ ﻣﻌﻬﺎ ﻓﺮﺧﺎﻥ،
ﻓﺄﺧﺬﻧﺎ ﻓﺮﺧﻴﻬﺎ، ﻓﺠﺎﺀﺕ ﺍﻟﺤُﻤﺮﺓُ ﻓﺠﻌﻠﺖ ﺗﻔﺮِﺵ، ﻓﺠﺎﺀ ﺍﻟﻨَّﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ
: ﻣﻦ ﻓﺠﻊ ﻫﺬﻩ ﺑﻮﻟﺪﻫﺎ؟ ﺭﺩُّﻭﺍ ﻭﻟﺪﻫﺎ ﺇﻟﻴﻬﺎ
“Suatu ketika kami bersama dengan
Rasulullah dalam sebuah perjalanan. Ketika Nabi pergi untuk buang hajat kami
melihat seekor burung bersama dua anaknya yang masih kecil. Kami ambil dua anak
burung tersebut. Tak lama setelah itu si induk burung datang mencari anaknya.
Ketika Nabi datang dan melihat hal tersebut beliau bersabda, ‘Siapa yang
membuat induk burung ini mencemaskan anaknya? Kembalikan anaknya kepada
induknya!’” [5]
Demikian semoga bermanfaat
@Yogyakarta Tercinta
Penulis: dr. Raehanul Bahraen
Catatan kaki:
[1] HR. Tirmidzi, hasan gharib
[2] HR. Al Hakim, Shahih
[3] Lihat Zaadul Ma’ad
[4] HR Ahmad & Abu Dawud, Hasan
[5] HR. Abu Daud, Shahih
Sumber: https://muslim.or.id/30959-belum-baligh-sebaiknya-tidak-full-pondok-pesantren.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda di sini