PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI SUMSEL PADA ERA DIGITAL

Berikut beberapa permasalahan pendidikan, terutama pendidikan islam di Sumsel pada era digital yang menurut saya paling penting untuk dikaji dan dicarikan solusi:

1. Praktik Kesyirikan di Kalangan Terpelajar/Masyarakat

Islam telah memberi cahaya hidayah yang terang benderang kepada manusia dari gelapnya kesyirikan. Mengangkat kejahilan dari menghamba kepada selain Allah menjadi manusia yang menjunjung tinggi ilmu dan tauhid. Sangat disayangkan, di zaman sekarang yang ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju ternyata tidaklah menjamin terjaganya akal dan hidayah seseorang dari budaya kesyirikan. Praktik iklan perdukunan, ramalan, zodiak, jimat, dan semisalnya semakin meluas, baik di media cetak maupun elektronik. Fenomena yang sangat disayangkan lagi, banyak peserta didik dan guru berbondong-bondong pergi ke kuburan yang dianggap keramat untuk meminta pertolongan kepada penghuni kubur agar dimudahkan dan dilancarkan ujian nasionalnya. Begitu juga orang yang berpendidikan dan bertitel banyak yang membawa jimat ketika melamar pekerjaan, bahkan ketika tes CPNS Sumsel tahun 2018 lalu banyak peserta yang kedapatan membawa jimat sehingga akhirnya dilarang mengikuti tes.

Fenomena ini menunjukkan bahwa ada masalah dalam pendidikan akidah yang diajarkan di lingkungan keluarga, sekolah, atau pun masyarakat. Bisa jadi masalah terdapat pada konten/materi akidah yang diajarkan, metode pengajaran, kompetensi guru/pendidik, atau pun anak/peserta didik itu sendiri. Hal ini tentu saja perlu mendapat perhatian yang serius dari kita, terutama pemerintah, pendidik, dan orang tua untuk mencari akar permasalahannya.

Oleh karena itu, pendidikan akidah harus menjadi prioritas utama dalam kurikulum pendidikan islam. Pendidikan akidah harus dimulai dari sejak dini dari lingkungan keluarga. Orang tua harus mengajarkan dan mendidik anaknya dengan pendidikan akidah islam yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya serta memasukkan anaknya pada lembaga pendidikan yang perhatian terhadap perbaikan akidah umat. Begitu juga di lembaga pendidikan, pemerintah memperbanyak jam pelajaran pendidikan agama islam, terutama konten akidahnya. Para pendidik muslim harus menanamkan pendidikan akidah ke seluruh jenjang pendidikan, bukan hanya pendidikan usia dini, dasar, dan menengah, tetapi juga pendidikan tinggi (perguruan tinggi). Mata pelajaran selain PAI pun harus dimasukkan muatan akidah di dalamnya, seperti matematika, IPA, dan seterusnya. Sebagai contoh, ketika guru matematika menjelaskan konsep bilangan satu maka bisa dimasukkan muatan akidah seperti Allah itu satu, Allah satu-satunya pencipta, Allah satu-satunya tuhan yang berhak disembah, dll. Pendidikan akidah yang ditanamkan dan diajarkan haruslah sesuai dengan pendidikan akidah yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabatnya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam tidak pernah mengajarkan kepada umatnya untuk meminta-minta kepada kuburan atau pun tempat-tempat yang dianggap keramat agar dimudahkan urusan, dikabulkan hajat, atau diluluskan ujian. Begitu juga praktik-praktik perdukunan, jimat, ramalan, dan lain sebagainya dilarang dalam islam karena termasuk kesyirikan.

2. Peredaran/Pemakaian Narkoba Semakin Tinggi

Kemudahan akses informasi di era digital, membuat peredaran narkoba semakin meningkat ke berbagai lapisan umur, pendidikan, dan wilayah. Tidak hanya kalangan remaja dan dewasa, di kalangan anak-anak, bahkan di bawah umur pun terkena pengaruhnya. Begitu juga tingkat pendidikan, mulai dari yang tidak berpendidikan/tidak bersekolah, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi, bahkan orang yang sudah berderet titel dan menjadi tokoh pun bisa terpengaruh. Di pedesaan jangan dikira aman dari narkoba, kondisi pedesaan yang jauh dari pengawasan aparat menjadi lahan subur bagi para pengedar menjual racun generasi ini.

Oleh karena itu, semua pihak harus berpartisipasi dalam memberantas peredaran narkoba ini. Pihak yang berwenang seperti kepolisian dan BNN harus di garda terdepan dalam memutus mata rantainya sampai ke akarnya. Para orang tua harus dari sejak dini mencegah anak-anaknya mendekati narkoba, menanamkan pendidikan agama dan akhlak, begitu juga peran pendidik sangat penting dalam mengarahkan dan membimbing peserta didiknya agar kuat mental spiritual akhlaknya, tidak mudah terpengaruh dengan ajakan-ajakan untuk mencoba narkoba. Kurikulum sekolah harus dimasukkan dan dikuatkan nilai-nilai pendidikan karakternya, termasuk di dalamnya pendidikan antinarkoba. Pihak-pihak lain pun tidak bisa dipandang kecil perannya dalam mengajak masyarakat untuk menjauhi narkoba, seperti para pendakwah, praktisi kesehatan, tokoh masyarakat, dan lain sebagainya.

3. Penggunaan Teknologi yang Terlalu Dini/Tidak Bijak

Di era digital ini, kemajuan teknologi informasi terutama internet dan gadget begitu cepat. Hal yang tidak aneh lagi anak balita sudah pandai bermain gadget, pandai bermain internet. Perkembangan anak-anak yang masih dalam masa golden age, yang para psikolog perkembangan mengatakan bahwa yang terbaik adalah beraktivitas, belajar, atau bermain langsung dengan lingkungan alam dan sosial sekitarnya, terkalahkan dengan layar mini gadget. Hal ini bukan berarti kalangan remaja dan dewasa aman-aman saja dari pengaruh buruk gadget/internet ini. Di antara efek negatifnya, ketika orang tua atau teman mengajak berbicara, orang yang saking fokusnya bermain gadget matanya tidak tertuju ke lawan bicara tetapi fokus ke layar gadget nya sehingga seringkali dia gagal paham atau tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan lawan bicaranya dan ini membuat lawan bicaranya merasa tidak dihargai. Hal ini bukanlah berarti kita antipati dengan kemajuan teknologi, tetapi teknologi ibarat pisau bermata dua, tergantung siapa yang menggunakan pisau dan untuk apa pisau digunakan. Artinya, syarat penggunaan teknologi itu paling tidak memenuhi dua syarat yaitu penggunanya harus cerdas dan tujuan penggunaannya juga harus benar.

Oleh karena itu, menurut saya, praktisi pendidikan terutama psikolog perkembangan pendidikan islam perlu membuat penelitian mendalam tentang usia berapa seseorang anak itu boleh menggunakan gadget/internet dan untuk tujuan apa saja boleh digunakan. Anggap saja usia sekolah dasar boleh menggunakan gadget/internet, tapi apakah hal yang bijak membolehkan anak usia SD menggunakan gadget/internet tanpa pengawasan dengan dalih mencari tugas/mengerjakan PR dari guru?, Apakah seusia itu memang sudah seharusnya dikenalkan cara mengakses internet?, dan pertanyaan-pertanyaan semisal yang sebenarnya tidak butuh jawaban langsung tapi penelitian yang mendalam terkait psikologi perkembangan anak dikaitkan dengan penggunaan teknologi ini. Banyak kasus kenakalan anak dan remaja, bahkan orang dewasa pun disebabkan oleh penggunaan internet/gadget yang tidak bijak seperti kecanduan nonton konten porno, kecanduan game online, kecanduan judi online, dan lain sebagainya.

4. Menipisnya Budaya Malu

Malu yang dimaksud di sini dalam artian malu yang positif yaitu malu melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Malu yang sebagaimana sabda Nabi bahwa malu termasuk bagian dari iman. Fenomena mengumbar aurat dan merokok di depan umum, korupsi, memotong antrian, bersentuh-sentuhan bahkan saling berciuman dan berpelukan dengan bukan mahram dengan dalih persahabatan, dan yang lebih parah lagi praktek prostitusi dan judi online yang sudah terang-terangan, dan lain sebagainya merupakan fenomena yang sudah menjadi hal yang lumrah pada zaman sekarang ini, terlebih di era informasi yang mengalir begitu deras ini.

Oleh karena itu, peran orang tua dan pendidik dalam mengajarkan dan mendidik peserta didik dengan nilai-nilai agama, nilai-nilai akhlak dan karakter harus dilakukan dari sejak dini, terutama dalam hal menerapkan budaya malu ini. Anak/peserta didik harus dibiasakan memakai pakaian yang sopan/menutup aurat ketika keluar rumah, menjauhi rokok apalagi narkoba dan miras, menjauhi segala bentuk korupsi, tertib mengantri, pergaulan dengan lawan jenis sesuai adab-adab islam, dan jika sudah masanya nanti mampu menggunakan teknologi secara bijak.   

Lembaga pendidikan islam harus berada di saf terdepan dalam memberikan keteladanan terhadap budaya malu ini. Para guru harus menjadi contoh dalam berpakaian yang islami, tidak merokok, menjauhi korupsi dari yang paling kecil termasuk korupsi waktu, pergaulan antarguru yang bukan mahram dijaga sesuai adab-adab islami, dan tidak sibuk bermain gadget ketika sedang mengajar di kelas. Artinya, budaya malu ini harus diperkuat dalam implementasi pendidikan karakter di dalam dan di luar sekolah. Sehingga budaya malu senantiasa dilakukan terus-menerus bukan hanya di lingkungan masjid dan sekolah, tetapi kapan dan di mana pun seseorang berada.  

5. Degradasi Sosial

Di antara dampak negatif penggunaan teknologi yang tidak bijak di era digital yang mulai terasa sejak semakin derasnya perkembangan dan kemajuan internet dan android yaitu degradasi sosial. Fenomena fokus menatap gadget ketika berkomunikasi dengan orang lain, berkurangnya sosialisasi terhadap tetangga karena sepulang kerja sudah sibuk dengan “teknologi”nya, berkurangnya silaturahmi secara langsung terhadap sanak famili karena sudah merasa cukup dengan komunikasi via telepon/video call, berkurangnya kepekaan dan kepedulian terhadap orang yang membutuhkan bantuan, bahkan berkurangnya simpati dan empati terhadap orang yang terkena musibah/kecelakaan. Betapa banyak orang yang bukannya sibuk membantu sebisa mungkin terhadap orang yang terkena kecelakaan/musibah, malah sibuk memvideokan bahkan berselfy ria di dekat peristiwa tersebut lalu memviralkannya di sosial media, padahal konten yang dia ambil dan bagikan belum tentu layak untuk dipublis dan ditonton oleh banyak orang dari berbagai usia. Sebenarnya, banyak hal yang bisa dilakukan ketika melihat peristiwa tersebut seperti menghubungi dan meminta bantuan pihak yang berwenang, membantu membawa ke rumah sakit, memberikan sumbangan/donasi sosial, dan semisalnya.

Oleh karena itu, sudah saatnya orang tua dan pendidik menjadi teladan dalam memiliki kepedulian dan jiwa sosial yang tinggi. Orang tua membuat organisasi dalam keluarganya lengkap dengan tugasnya masing-masing, orang tua dan pendidik menatap mata anak/peserta didik ketika berkomunikasi bukan fokus menatap gadget, orang tua aktif ikut serta dalam kegiatan/amal sosial di lingkungannya seperti gotong royong, pos siskamling, takziyah, dan sebagainya. Orang tua/guru sebisa mungkin langsung mendatangi ahli musibah bukan hanya sekedar ucapan belasungkawa via telepon atau whatsapp. Orang tua mengajak anak-anaknya untuk terbiasa bersilaturahmi secara langsung ke rumah keluarganya secara rutin, tidak cukup hanya dengan menanyakan kabar lewat telepon, whatsapp, dan seterusnya. Bukan berarti kita antipati atau tidak mau memanfaatkan teknologi, tetapi jangan sampai kebutuhan dan intensitas kita terhadap teknologi lebih tinggi dibanding sosialisasi/komunikasi secara langsung sehingga mengurangi kepedulian dan jiwa sosial kita terhadap keluarga, tetangga, dan masyarakat, sehingga lama-kelamaan disadari atau tidak disadari mengakibatkan degradasi sosial dan bersikap apatis terhadap lingkungan sekitar.

6. Guru yang Kurang Kompeten

Guru tidak menguasai disiplin ilmu yang diajarkan menjadi permasalahan yang cukup serius, terlebih lagi guru yang mengajar mata pelajaran keagamaan. Padahal, guru tidak hanya dituntut harus menguasai disiplin ilmu yang diajarkan, tetapi juga ilmu prasyarat dari disiplin ilmu tersebut. Misalnya, fikih prasyaratnya ushul fikih, hadis prasyaratnya musthalah hadis, PAI prasyaratnya bahasa arab, fisika prasyaratnya matematika, dst.

Sebagai contoh, guru pendidikan agama islam seharusnya sudah menguasai dengan baik ilmu bahasa arab karena ilmu bahasa arab adalah prasyarat dari ilmu islam. Tetapi, realitanya banyak guru PAI yang tidak paham bahasa arab, bagaimana mungkin dia bisa mengajarkan dan mendidik islam secara utuh. Padahal sumber utama islam yaitu Al-Quran dan Al-Hadis semuanya berbahasa arab. Kitab-kitab para ulama pun mayoritas berbahasa arab. Mengandalkan buku terjemahan atau aplikasi terjemah online pun bukanlah solusi yang tepat untuk masalah ini karena apa yang dipahami penerjemah seringkali berbeda dengan yang dipahami penulis aslinya dan bahkan penerjemah banyak yang salah memahami atau menafsirkan maksud dari penulis sehingga pembaca mendapatkan pemahaman yang keliru. Contoh lain, guru fisika harus sudah menguasai ilmu prasyaratnya yaitu matematika. Namun, berbeda dengan guru PAI yang banyak tidak menguasai bahasa arab, guru fisika rata-rata sudah menguasai dengan baik matematika. Para akademisi atau peneliti perlu mengadakan penelitian lebih lanjut tentang fenomena ini agar bisa diketahui masalahnya dan dicarikan solusi bersama. Barangkali bisa dimulai dari penelitian mengenai tingkat kompetensi bahasa arab guru PAI dan tingkat kompetensi matematika guru fisika di Palembang sebagai tahap awal.  

Dengan demikian, bukan hanya peserta didik yang harus mengetahui bakat, minat, dan keahliannya, tetapi juga guru/pendidik pun harus mengajarkan ilmu yang sesuai dengan bakat, minat, dan keahliannya.         

7. Budaya Bully dan Berita Hoax Makin Meningkat

Budaya mem-bully dan menyebarkan berita hoax semakin meningkat tajam baik di kalangan orang terpelajar maupun orang awam seiring dengan pesatnya kemajuan media sosial. Mem-bully, menyebarkan berita dusta/hoax, mencemarkan nama baik, berkomentar negatif, bahkan pelecehan online pun menjadi fenomena yang sedang masif pada era digital ini.

Banyak kita mendengar kasus pelajar/mahasiswa yang fotonya diambil secara diam-diam kemudian diupload di internet lalu di-bully habis-habisan oleh warga internet, penyebaran video porno atau sadisme lewat media sosial, menyebarkan pesan berantai berita dusta bahkan hadis palsu, saling berkomentar negatif bahkan berkata-kata kotor, mencemarkan nama baik seseorang tanpa bukti, dst. Kasus-kasus seperti ini semakin menyadarkan kita semua sebagai pengguna internet/media sosial agar menjadi orang yang cerdas dalam ber-medsos/internet dan menggunakan internet/medsos untuk tujuan yang bermanfaat, seperti belajar, mengajar, berdakwah, amal sosial, berbisnis, dst.

Oleh karena itu, jauhilah menulis atau berkomentar yang negatif atau memancing debat kusir, mengupload/membagikan konten porno/mengumbar aurat atau kekerasan, menyebarkan berita hoax atau hadis palsu, mem-bully atau melecehkan orang lain, memecah belah, apalagi menghina atau mengolok-olok pemerintah/aparatur negara, dst. Jika tidak dapat berkata atau menulis yang baik/positif maka lebih baik kita diam/tidak menulis sebagaimana perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.           

Ibnu Musthofa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukkan komentar anda di sini

RECENT POSTS

RECENT COMMENTS