KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP
LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
MATA KULIAH:
ISU-ISU KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
Dosen:
Prof. Drs. M. Sirozi, M.A., Ph.D.
Dr. Rahmawati Rahim, M.Pd.I.
Oleh:
Robin Andespa
NIM: 1802012013
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN
ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2019
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sistem pendidikan di Indonesia telah
melalui rangkaian proses sejarah yang panjang. Pada masa awal kemerdekaan saja,
misalnya—mengutip Muhaimin—pemerintah dan bangsa Indonesia telah mewarisi
sistem pendidikan dan pengajaran yang
dualistis. Pertama, sistem pendidikan
dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekular dan tidak mengenal ajaran
agama yang merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda. Kedua, sistem
pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri. Dalam hal ini, terdapat dua
corak, yakni (1) isolatif-tradisional (menolak segala yang berbau Barat) dan
(2) sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya[1].
Kedua
sistem pendidikan pada awal masa kemerdekaan tersebut, sering dianggap
bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem
yang pertama, pada mulanya, bisa dijangkau oleh kalangan masyarakat atas saja,
sedangkan yang kedua tumbuh dan berkembang secara mandiri di kalangan rakyat
dan berurat-akar dalam masyarakat.
Pada
masa orde baru, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional merupakan salah satu kebijakan pemerintah di bidang pendidikan sebagai
pengganti dari undang-undang sebelumnya[2]. Undang-undang tersebut diikuti oleh seperangkat Peraturan Pemerintah (PP)
sebagai kebijakan yang mengatur pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, ataupun
tentang pendidikan luar bisa dan pendidikan luar sekolah, dan sebagainya.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 akhirnya disempurnakan oleh Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada hakikatnya, sejumlah undang-undang tersebut
merupakan perangkat hukum untuk mengatur sistem pendidikan Tanah Air. Oleh
karena itu, lembaga pendidikan Islam, terutama pesantren sebagai lembaga
pendidikan islam tertua di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem pendidikan nasional tersebut, baik secara eksplisit maupun
implisit.
Berdasarkan hal itulah,
pada kesempatan ini, kami akan membahas tentang kebijakan pemerintah terhadap
lembaga pendidikan islam. Kami memfokuskan makalah ini pada kebijakan
pemerintah terhadap lembaga pendidikan islam pada masa reformasi.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
- Apa pengertian lembaga pendidikan islam ?
- Apa saja macam-macam lembaga pendidikan islam ?
- Apa saja kebijakan pemerintah terhadap lembaga pendidikan islam pada masa reformasi ?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Lembaga Pendidikan Islam
Secara
bahasa, lembaga adalah badan atau organisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan bahwa, lembaga adalah badan atau organisasi yang tujuannya
melakukan suatu penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha.1 Badan atau
lembaga pendidikan adalah organisasi atau kelompok manusia yang karena satu dan
lain hal memikul tanggung jawab pendidikan kepada peserta didik sesuai dengan
misi badan tersebut.
Sebagian
lagi mengartikan lembaga pendidikan sebagai lembaga atau tempat berlangsungnya
proses pendidikan yang dilakukan dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku
individu ke arah yang lebih baik melalui interaksi dengan lingkungan sekitar.
Berdasarkan
pengertian di atas dapat dipahami bahwa lembaga pendidikan Islam adalah tempat
atau organisasi yang menyelenggarakan pendidikan Islam, yang mempunyai struktur
yang jelas dan bertanggung jawab atas terlaksananya pendidikan Islam. Oleh
karena itu, lembaga pendidikan Islam tersebut harus dapat menciptakan suasana
yang memungkinkan terlaksananya pendidikan dengan baik, menurut tugas yang
diberikan kepadanya, seperti sekolah (madrasah) yang melaksanakan proses
pendidikan Islam.[3]
Lembaga
pendidikan dewasa ini sangat mutlak keberadaannya bagi kelancaran proses
pendidikan, khususnya di Indonesia. Apalagi lembaga pendidikan itu dikaitkan
dengan konsep Islam, lembaga pendidikan Islam merupakan suatu wadah dimana
pendidikan dalam ruang lingkup keislaman melaksanakan tugasnya demi tercapainya
cita-cita umat Islam.
B.
Macam-macam Lembaga Pendidikan Islam
Ditinjau
dari aspek penanggung jawab, lembaga pendidikan Islam terbagi menjadi 3
bagian, yaitu:
- Lembaga Pendidikan Islam Formal
Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
bahwa lembaga pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
Pendidikan
dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk
lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.
Pendidikan
menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat.
Pendidikan
tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program
pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dapat berbentuk
akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
Sementara
Hadari Nawawi mengelompokkan lembaga pendidikan islam formal kepada lembaga
pendidikan yang kegiatan pendidikannya diselenggarakan secara sengaja,
berencana, sistematis dalam rangka membantu anak dalam mengembangkan potensinya
agar mampu menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah di bumi.[4]
Adapun
ciri-ciri pendidikan formal adalah :
a. Pendidikan berlangsung dalam ruang kelas yang sengaja dibuat oleh
lembaga pendidikan formal.
b. Guru adalah orang yang ditetapkan secara resmi oleh lembaga.
c. Memiliki administrasi dan manajemen yang jelas.
d. Adanya batasan usia sesuai dengan jenjang pendidikan.
e. Memiliki kurikulum formal.
f. Adanya perencanaan, metode, media, serta evaluasi pembelajaran.
g. Adanya batasan lama studi.
h. Kepada peserta yang lulus diberikan ijazah.
i. Dapat meneruskan pada jenjang yang lebih tinggi.
Sedangkan
lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan islam formal antara lain:
a. Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Dasar Islam (SDI), Pendidikan
Diniyah Formal (PDF) Ula.
b. Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI), Pendidikan
Diniyah Formal (PDF) Wustha
c. Madrasah Aliyah (MA), Pendidikan Diniyah Formal (PDF) Ulya
d. Sekolah Tinggi Agama Islam, Institut Agama Islam, Universitas Islam,
Ma’had Aly
- Lembaga Pendidikan Islam Nonformal
Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa lembaga
pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang
dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Kini,
pendidikan nonformal semakin berkembang karena semakin dibutuhkan oleh
masyarakat yang tidak mengambil jalur pendidikan formal, baik karena putus
sekolah atau tidak dapat melanjutkan pendidikan maupun karena pilihan sendiri
karena waktu dan tempat belajar bisa lebih situasional.
Faktor
pendorong perkembangan pendidikan nonformal cukup banyak, diantaranya ialah:
a. Semakin banyaknya jumlah angkatan muda yang tidak dapat melanjutkan
sekolah.
b. Lapangan kerja, khususnya sektor swasta mengalami perkembangan
cukup pesat dan lebih dibandingkan perkembangan sektor pemerintah.
Menurut abu
ahmadi mengartikan lembaga pendidikan islam non formal kepada semua bentuk
pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib, dan terencana diluar
kegiatan lembaga sekolah (lembaga pendidikan formal) dengan tetap menumbuhkan
nafas Islami di dalam proses penyelenggaraannya.[5]
Lembaga pendidikan
Islam non formal merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang
untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur
hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus
besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala
dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tidak mau
pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat
seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat, dan tetap mengelola
kebutuhan-kebutuhan lembaga pendidikan Islam di masyarakat yang didasari,
digerakkan, dan dikembangkan oleh jiwa Islam (Al- Qur’an dan As Sunnah).
Berpijak pada
tanggung jawab masyarakat diatas, lahirlah lembaga pendidikan Islam yang dapat
dikelompokkan dalam jenis pendidikan nonformal adalah :
a.
Masjid, Mushala, Langgar, surau, dll.
b.
Madrasah Diniyah nonformal
c.
Majelis Taklim, Taman Pendidikan Al-Qur’an, dll.
d.
Kursus-kursus keIslaman.
e.
Badan pembinaan rohani.
f.
Badan-badan konsultasi keagamaan.
g.
Musabaqah Tilawatil Al-Qur’an.[6]
- Lembaga Pendidikan Islam Informal
Dalam
undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan
Informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Lembaga pendidikan
informal adalah pendidikan yang ruang lingkupnya lebih terarah pada keluarga
dan masyarakat. Pendidikan keluarga adalah pendidikan pertama dan utama.
Dikatakan pertama, karena bayi atau anak itu pertama kali berkenalan dengan
lingkungan dan mendapatkan pembinaan dari sebuah anggota keluarga. Pendidikan
pertama ini dapat dipandang sebagai peletak pondasi pengembangan-pengembangan
berikutnya. Adanya istilah pendidikan utama juga dikarenakan adanya
pengembangan tersebut.
Melihat peran
yang dapat dimainkan oleh lembaga pendidikan keluarga maka tidak berlebihan
bila Sidi Ghazalba mengkategorikannya pada jenis lembaga pendidikan primer,
utamanya untuk masa bayi dan masa kanak-kanak sampai usia sekolah. Dalam
lembaga ini sebagai pendidik adalah orang tua, kerabat, famili dan sebagainya.
Orang tua selain sebagai pendidik, juga sebagai penanggung jawab.[7]
Namun
pendidikan informal, khususnya pendidikan keluarga memang belum ditangani
seperti pada pendidikan formal, sehingga masuk akal jika sebagian besar
keluarga belum memahami dengan baik tentang cara mendidik anak-anak dengan
benar.
Ciri-ciri
pendidikan informal adalah ;
a.
Pendidikan berlangsung terus-menerus tanpa mengenal tempat dan
waktu.
b.
Yang berperan sebagai guru adalah orangtua.
c.
Tidak adanya manajemen yang baku
C.
Kebijakan Pemerintah Terhadap Lembaga Pendidikan Islam
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
a.
Kebijakan tentang pemantapan
pendidikan islam sebagai bagian dari Sistem pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional. Jika pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989 hanya menyebutkan pendidikan
keagamaan jalur pendidikan sekolah (formal) saja yang masuk dalam sistem pendidikan
nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bukan saja
pendidikan formal umum berciri khas islam (MI, MTs, MA), tetapi juga pendidikan
keagamaan seperti pendidikan diniyah dan pesantren pun termasuk dalam sistem
pendidikan nasional. Bahkan, majelis taklim pun termasuk satuan pendidikan
nonformal yang disebutkan dalam sisdiknas.
Dengan masuknya
pendidikan diniyah, pesantren, dan Majlis Taklim ke dalam sistem pendidikan
nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan islam semakin
diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan diskriminasi. Sejalan dengan itu,
maka berbagai perundang-undangan dan peraturan tentang standar nasional
pendidikan tentang sertifikasi Guru dan Dosen, bukan hanya mengatur tentang
Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan saja, melainkan juga tentang Standar Pendidikan,
Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Agama.
b.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 juga
sekaligus “mengubur” bagian dari UU Nomor 2/1989 dan Peraturan Pemerintah,
Nomor 29/1990, tentang tidak wajibnya sekolah dengan latar belakang agama
tertentu mengajarkan pendidikan agama yang dianut siswa. Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 mewajibkan sekolah/yayasan untuk
mengajarkan pendidikan agama untuk siswa yang menganut agama lain.
c.
Pada sisdiknas 2003 ini juga istilah pendidikan keagamaan jalur
pendidikan sekolah (formal) pada UU No. 2 Tahun 1989 sudah disebut pendidikan
umum berciri khas islam, yaitu MI, MTs, MA. Karena pada sisdiknas ini,
pendidikan keagamaan islam berbetuk pendidikan diniyah dan pesantren.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 55 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan
a.
Lahirnya PP No. 55 Tahun 2007 secara yuridis merupakan realisasi
amanah Pasal 20 ayat 4, Pasal 30 ayat 5, dan Pasal 37 ayat 3 Undang-Undang
Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
b.
Jika dilihat secara komparasi antar agama, maka muatan Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 ini memberikan porsi lebih kepada umat Islam,
yaitu pada bab III bagian I Pasal 14, 3 ayat. Pasal 15, Pasal 16, 3 ayat. Pasal
17, 4 ayat. Pasal 18, 2 ayat. Pasal 19, 2 ayat. Pasal 20, 4 ayat. Pasal 21, 3
ayat. Pasal 22, 3 ayat. Pasal 23, 3 ayat. Pasal 24, 6 ayat. Pasal 25, 5 ayat.
Pasal 26 (khusus pesantren), 3 ayat. Dengan demikian total berjumlah 13 pasal
dengan 38 ayat.
Secara
kuantitas muatan pasal dan ayat didominasi oleh agama Islam. Meskipun demikian,
bukan berarti peraturan pemerintah tersebut diskriminatif terhadap sebagian
agama. Secara substansial seluruh agama yang ada mendapatkan pelayanan dan
pengayoman secara harmonis dalam pendidikan.
c.
Sebagaimana UU No. 20 Th. 2003, Setiap peserta didik pada satuan
pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat
pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang
seagama
d.
Dalam peraturan pemerintah ini, ditegaskan kembali sebagaimana UU
No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan keagamaan Islam berbentuk pendidikan diniyah
dan pesantren. Hal ini semakin menguatkan peran pendidikan keagamaan islam sebagai
penyelenggara pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal, serta dalam
mewujudkan tujuan pendidikan keagamaan dan nasional.
- Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah
a. Peraturan ini lahir atas pertimbangan dalam rangka pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan. Dengan muatan berjumlah 9 bab, 30 pasal, dan 112 ayat.
Dengan demikian PMA ini muncul setelah 3 tahun lahirnya PP Nomor 55 Tahun 2007. Sejatinya
munculnya PMA ini muncul 2 tahun setelah PP Nomor 55 Tahun 2007 ditetapkan.
Karena menurut bab VI ketentuan umum pasal 50 disebutkan bahwa semua peraturan
perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan PP Nomor 55 Tahun 2007
harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak tanggal berlakunya
PP Nomor 55 Tahun 2007 ini (PP No. 55 Tahun 2007, Bab VI Ketentuan Umum pasal
50).
b.
Dalam PMA ini dijelaskan bahwa tujuan pengelolaan pendidikan agama
adalah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan agama yang bermutu di
sekolah. Tujuan ini memberikan pemahaman dan makna adanya i’tikad baik
pemerintah dalam mengembangkan dan memajukan pendidikan agama di Indonesia.
Sehingga pemerintah berusaha untuk mengayomi pengelolaan pendidikan agama
meliputi standar isi, kurikulum, proses pembelajaran, kompetensi lulusan,
pendidik dan tenaga kependidikan, penyelenggaraan, sarana dan prasarana,
pembiayaan, penilaian, dan evaluasi.
c.
Ada beberapa landasan tentang pendidikan agama penting untuk
diajarkan di sekolah. Pertama, landasan filosofis bangsa Indonesia adalah
Pancasila, sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung makna
setiap warga negara wajib beriman kepada Tuhan. Relisasi untuk mewujudkan itu
tentu harus diberikan pendidikan agama. Kedua, landasan konstitusional UU 1945
Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 tentang negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa
dan negara menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan
kepercayaannya. Tidak mungkin orang bisa beribadah sesuai agamanya melainkan
dengan pendidikan agama. Oleh karena itu, pendidikan agama perlu dilaksanakan.
Ketiga, landasan sosial religius masyarakat Indonesia yang sejak dulu terkenal
sebagai masyarakat religius (beragama).
d.
PMA ini juga kembali menegaskan bahwa setiap sekolah wajib
menyelenggarakan pendidikan agama. Setiap peserta didik pada sekolah berhak memperoleh pendidikan
agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang
seagama.
e.
Pada Bagian Ketiga Pasal 4 PMA ini juga diatur tentang jumlah
peserta didik yang harus mendapatkan pendidikan agama.
1)
Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama dalam satu kelas paling
sedikit 15 (lima belas) orang wajib diberikan pendidikan agama kepada peserta
didik di kelas.
2)
Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama dalam satu kelas kurang
dari 15 (lima belas) orang, tetapi dengan cara penggabungan beberapa kelas
paralel mencapai paling sedikit 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama
pada sekolah dilaksanakan dengan mengatur jadwal tersendiri yang tidak
merugikan siswa untuk mengikuti mata pelajaran lain.
3)
Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama pada sekolah paling
sedikit 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama wajib dilaksanakan di
sekolah tersebut.
4)
Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama pada satu sekolah
kurang dari 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama dilaksanakan
bekerjasama dengan sekolah lain, atau lembaga keagamaan yang ada di wilayahnya.
- Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Pendidikan Keagamaan Islam
a.
PMA No.13 Tahun 2014 ini juga merupakan tindak lanjut dari PP Nomor
55 Tahun 2007, yang menyatakan bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 9
ayat (3), Pasal 13 ayat (5), dan Pasal 19 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Agama tentang Pendidikan Keagamaan Islam.
b.
PMA ini fokus mengatur tentang pendidikan keagamaan islam yaitu
pesantren dan pendidikan diniyah.
c.
PMA ini semakin memperkuat kejelasan penerimaan dan pengakuan
(legalitas) dari pemerintah terhadap lembaga pendidikan keagamaan Islam
khususnya pesantren dan pendidikan diniyah. Sejak pemerintahan Belanda, lembaga
pendidikan keagamaan Islam selalu didiskriminasikan. Disamping itu, lahirnya
PMA ini merupakan penghargaan dan penghormatan bagi umat Islam. Kita dapat
melakukan komparasi terhadap enam agama yang ada di Indonesia. Sampai saat ini
belum ada peraturan menteri agama republik Indonesia yang dibuat khusus mengatur
tentang pendidikan keagamaan selain agama Islam.
d.
Kementerian Agama melalui PMA ini juga memperkenalkan pendidikan
diniyah terbaru yaitu Pendidikan Diniyah Formal (PDF). Pendidikan Diniyah Formal (PDF) adalah
lembaga pendidikan keagamaan Islam yang diselenggarakan oleh dan berada di
dalam pesantren secara terstruktur dan berjenjang pada jalur pendidikan formal.
Karena
pendidikan diniyah formal ini masih muda dan baru, masih banyak kaum awam bahkan
akademisi yang belum mengetahui perihal pendidikan ini. Umumnya masyarakat
mengenal pendidikan formal yaitu MI, MTs, MA atau SD, SMP, SMA[8].
Sedangkan pada pendidikan diniyah formal yang diselenggarakan oleh dan berada
di dalam pesantren ini, nama yang diberikan adalah :
1)
Pendidikan Diniyah Formal Ula (setingkat MI/SD)
2)
Pendidikan Diniyah Formal Wustha (setingkat MTs/SMP)
3)
Pendidikan Diniyah Formal Ulya (setingkat MA/SMA)
4)
Ma’had Aly (setingkat Perguruan Tinggi)
e.
PMA ini semakin memperkokoh khittah pesantren sebagai institusi
yang menyiapkan santri sebagai mutafaqqih fiddin (ahli ilmu agama) yang
merupakan misi utama awal pendirian pesantren di Indonesia. Khittah pesantren
ini akan lebih fokus karena eksistensi pesantren salafiyah diperkokoh, sedang
pengembangan varian pesantren dibuka lebar-lebar, sehingga inovasi pesantren
sesuai kekhasannya masing-masing menjadi lebih terjamin. Karena di Indonesia
selama berabad-abad belum memiliki payung hukum terkait pengembangan pesantren.
Payung hukum baru ada sejak berlakunya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan, dan PMA Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan
Islam[9].
Bahkan, kita
patut berbangga, baru-baru ini, Negara Pakistan mengirimkan 18 orang delegasi
khusus untuk mempelajari pendidikan kesetaraan pada pondok pesantren salafiyah
di Indonesia. Kunjungan mereka dalam rangka menggali informasi seputar
pendidikan kesetaraan di Pondok Pesantren Salafiyah. Bekerjasama dengan Japan
Internasional Cooperation Agency (JICA)-Advancing Quality Alternative Learning
(AQAL) Project di Pakistan, mereka melakukan benchmarking di pesantren
penyelenggara pendidikan kesetaraan dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
(PKBM) yang berada di wilayah Bandung Jawa Barat. Kunjungan mereka di Kota
Priangan ini berlangsung tiga hari, 13 – 15 Maret 2019.
Direktur
Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Ahmad Zayadi menyambut
baik kegiatan benchmarking yang diinisiasi JICA dalam upaya melihat pendidikan
kesetaraan yang telah dilakukan seribu lebih pesantren salafiyah di Indonesia.
Beliau menjelaskan, pendidikan kesetaraan di pesantren salafiyah melayani
kelompok masyarakat yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan formal.
Sebelumnya,
Kepala Penasihat JICA-AQAL Pakistan Chiho Ohashi menjelaskan, Pakistan
merupakan negara terbesar kedua setelah Nigeria, terkait angka putus sekolah.
Data sampai saat ini, setidaknya ada 22,8 juta jiwa anak putus sekolah dengan
rentang umur 5 - 16 tahun. Tingkat buta aksara untuk di atas usia 10 tahun ke
atas juga sangat besar. “Dan ini terus meningkat setiap tahunnya,” kata Chiho.
Chiho Ohashi berharap, kunjungan studi ke Indonesia ini bisa meningkatkan
pemahaman stakeholders terkait penyelenggaraan pendidikan nonformal sebagai
pendidikan alternatif yang berkualitas di Pakistan. “Untuk itulah kunjungan ini
dirancang untuk belajar membuat kebijakan, standar kurikulum secara efisien
pada usia sekolah dasar dan menengah,” tukasnya. Chiho menilai Indonesia
memiliki pengalaman yang banyak dalam pendidikan nonformal dengan inisiatif dan
komitmen yang sangat kuat dari pemerintah Indonesia.[10]
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dinamika
pendidikan Islam dengan seluruh bentuknya secara yuridis mendapatkan perhatian
penuh dari pemerintah. Meskipun disadari bahwa pendidikan Islam belum berjalan
secara total. Selanjutnya kita harus senantiasa mempertahankan dan meningkatkan
eksistensi kuantitas dan kualitas pendidikan Islam di Indonesia.
Kebijakan
pendidikan paling kurang dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor ideologi dan
faktor politik. Kebijakan pendidikan di Indonesia pada dasarnya adalah
pergumulan/pergolakan antara dua kutub ideologi besar yang dibungkus dalam
politik, atau sebaliknya. Diawali dari UUSPN Nomor 2 Tahun 1989, UU SISDIKNAS
Nomor 20 Tahun 2003, PP Nomor 55 Tahun 2007, PMA Nomor 16 Tahun 2010, sampai
pada PMA No. 13 Tahun 2014.
Singkatnya,
lahirnya macam-macam kebijakan di atas merupakan hasil dari jerih payah
perjuangan umat islam, terutama para ulama dan pengambil kebijakan islam. Lahirnya
kebijakan-kebijakan di atas, memberikan dampak positif bagi eksistensi lembaga
pendidikan agama dan keagamaan Islam.
B.
Saran
Kami mengajak kepada masyarakat agar
berperan aktif dalam mendukung, menyelenggarakan, dan memajukan lembaga
pendidikan islam baik melalui jalur pendidikan formal, nonformal, maupun
informal sebagai realisasi amanah dari kebijakan-kebijakan pemerintah di atas. Namun,
dinamika dan perkembangan kebijakan belum final sampai dunia ini berakhir. Oleh
karena itu, bagi umat Islam, khususnya praktisi dan yang berkepentingan dalam
dunia pendidikan, agar terus mengawal dan mempertahankan serta meningkatkan
kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada pendidikan, terutama pendidikan islam
di Indonesia.
Catatan Kaki:
[1]
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pelembagaan,
Manajemen Kelembagaan, Kurikulum, hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2009).
[2]
Daulay, Haidar Putra, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di
Indonesia. Cet. II, (Jakarta: Kencana, 2007).
[3]
Bukhari Umar, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 149.
[4] Abu
Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka Cipata,
1991), hlm. 171-172.
[5] Ibid.,
hlm. 173.
[6]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2008), hlm.
284.
[7] Ibid,
hlm. 281-282.
[8]
https://pontren.com/2018/11/05/pengertian-pendidikan-diniyah-formal-pdf/.
Diakses pada 22 April 2019.
[9] Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara, Jurnal Tarbiyah, Vol. 25, No.
2, (Medan: UIN Sumatera Utara, 2018), hlm. 36.
[10]
https://kemenag.go.id/berita/read/510153/pakistan-pelajari-pendidikan-kesetaraan-di-pondok-pesantren-salafiyah.
Diakses pada 18 April 2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda di sini