Dampak Buruk Pandangan yang Diharamkan
Termasuk sarana yang mematikan (terjadinya zina) adalah melihat apa yang diharamkan Allah. Berapa banyak pandangan yang tertuju kepada rupa yang cantik –baik di pasar, bioskop, atau pun majalah- mengakibatkan zina, penderitaan bathin, dan kerugian?
Imam Ahmad Rahimahullah berkata: ”Jika takut terkena fitnah, maka jangan melihatnya, betapa banyak pandangan meninggalkan kegoncangan di hati pelakunya?” 1
Dikatakan pula oleh Ibnul Jauzi ketika mengingatkan bahaya mengumbar pandangan mata: ”Ketahuilah, semoga Allah memberikan taufiq kepada Anda bahwa pandangan adalah pengirim kabar ke hati. Ia mentrasfer ke hati setiap kabar yang dilihatnya, lalu memahatnya dengan kuat di hatinya, kemudian akan membuahkan pikir, selanjutnya akan menyibukkan dirinya dari berpikir tentang hal-hal yang bermanfaat bagi akhirat. Karena mengumbar pandangan merupakan sebab munculnya hawa nafsu di dalam hati, maka Pemilik syariat memerintahkan Anda untuk menundukkan pandangan karena dikhawatirkan timbul akibat buruknya. Allah Ta’ala berfirman:
”Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya,...”. (QS. An-Nuur: 30).
Dan firman-Nya:
”Katakanlah kepada wanita yang beriman: ’Hendaklah mereka menahan pandangannya,...”. (QS. An-Nuur: 31).
Kemudian Allah mengisyaratkan akibat yang ditimbulkannya serta memperingatkan apa yang bisa menjerumuskan ke dalam keburukan ini:
”dan memelihara kemaluannya” 2
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah membahas tentang pandangan terhadap yang haram dan apa-apa yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam tindakan yang keji, bahkan terkadang berakhir dengan kesyirikan kepada Allah oleh pelakunya.
Di antara yang beliau katakan adalah: ”Adapun pandangan dan bersentuhan (yang haram) ada yang diampuni selagi pelakunya menjauhi dosa-dosa besar. Akan tetapi, jika pandangan kepada yang haram atau bersentuhan (antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram) dilakukan secara terus-menerus maka tindakan itu menjelma menjadi dosa besar.
Bahkan terus-menerus melakukan hal itu bisa jadi lebih berbahaya dari melakukan tindakan keji (zina) yang dilakukan dengan sangat jarang. Karena pandangan yang terus-menerus dan selalu disertai syahwat hingga menyebabkan mabuk cinta, bergaul dan bersentuhan terkadang jauh lebih berbahaya dari kerusakan zina yang dilakukan dengan sangat jarang. Untuk itulah para fuqaha’ berkata tentang kriteria saksi yang adil: ’Tidak melakukan dosa besar dan tidak terus-menerus melakukan dosa kecil”.
Bahkan terkadang pandangan dan sentuhan antara laki-laki dan perempuan berakhir dengan kesyirikan, sebagaimana firman Allah:
”Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah”. (QS. Al-Baqarah: 165).
Untuk itulah tidak ada orang yang gandrung dan mabuk terhadap rupa kecuali orang yang lemah kecintaannya kepada Allah, lemah imannya. Dan Allah Ta’ala menyebutkan hal itu dalam al-Quran berkaitan dengan istri al’Aziz yang musyrik dan kaum Luth yang musyrik.” 3
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata:
”Allah ’azza wajalla menjadikan mata sebagai cermin bagi hati. Jika seorang hamba menutup matanya (dari yang haram), maka hati akan menutup syahwat dan keinginan buruknya, namun jika dia mengumbar pandangannya, maka hati akan mengumbar syahwatnya...”. Beliau melanjutkan:
”Ketika pandangan mata telah meninggalkan pengaruhnya di hati, jika pelakunya teguh dan berusaha, lalu memangkasnya dari awal maka dengan mudah akan terobati. Akan tetapi, jika dia mengulang pandangannya, membayangkan kecantikan rupa lalu mentransfernya ke dalam hati yang kosong, maka rasa cinta akan tertanam kokoh di dalamnya. Setiap kali dia mengarahkan pandangan, maka seperti air yang menyuburkan tanaman. Pohon cinta itu terus tumbuh dan berkembang hingga mampu merusak hati, lalu hati akan mengomando pikiran sesuai keinginannya, hingga membawa pemiliknya kepada bala’ dan menyebabkan terjerumusnya ia ke dalam dosa-dosa dan fitnah.” 4
Foote Note:
1. Dzammul Hawa oleh Ibnu al-Jauzi: 116.
2. Dzammul Hawa: 106.
3. Majmu’ al-Fataawa: XV / 292, 293.
4. Raudhatul Muhibbin hal.92-95 dengan sedikit diringkas.
[Disalin dari buku ’Ubuudiyyatusy-Syahwaat, edisi Indonesia Pemburu Nikmat Sesaat, oleh Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali bin Abdul Lathif, hal 29-33, terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Abu Umar Abdillah].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda di sini