LINGKUNGAN PENDIDIKAN KELUARGA

HADIS-HADIS TENTANG LINGKUNGAN PENDIDIKAN KELUARGA

MATA KULIAH:
STUDI TAFSIR DAN HADIS TARBAWI




Dosen Pengampu:
Dr. Achmad Syarifudin, M.A.


Oleh:
Robin Andespa
NIM: 1802012013

  
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2018


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Pendidikan islam dimulai dari lingkungan keluarga. Allah Ta’ala telah menerangkan dalam Al-Quran di antaranya :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [at-Tahrîm/66:6].
            Dari ayat di atas, Allah memerintahkan orang-orang beriman agar memulai pendidikan di lingkungan keluarga terlebih dahulu sebelum mendidik orang lain (masyarakat).
            Kemudian Nabi shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda tentang pertanggungjawaban suami dan istri di dalam keluarga.


وَالرَّجُلُ فِي أَهْلِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالمَرْأَةُ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا رَاعِيَةٌ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالخَادِمُ فِي مَالِ سَيِّدِهِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Seorang laki-laki (kepala rumah tangga) adalah pemimpin (pengatur) terhadap keluarganya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang wanita (ibu rumah tangga) adalah pemimpin (pengatur) di rumah suaminya dan akan ditanya tentang kepemimpinannya.” [HR. Al-Bukhâri, no. 2558, dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma].
            Dari hadis di atas menjadi jelaslah bahwa pertanggungjawaban kepemimpinan kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga dimulai dari lingkungan keluarga, terutama masalah pendidikan keluarga.
            Oleh karena itu, karena pentingnya pendidikan di lingkungan keluarga, bahkan sering dikatakan “Al-Usrah al-madrasatul ula”, maka pada kesempatan ini pemalah akan menyajikan makalah yang berjudul Hadis Tentang Lingkungan Pendidikan Keluarga.

B. Rumusan Masalah
            Rumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
  1. Apa yang dimaksud lingkungan pendidikan keluarga ?
  2. Bagaimana penjelasan hadis-hadis tentang lingkungan pendidikan keluarga?

  
PEMBAHASAN

A. Lingkungan Pendidikan Keluarga
            Lingkungan pendidikan keluarga terdiri atas tiga kata yaitu lingkungan, pendidikan, dan keluarga.
  1. Lingkungan
            Lingkungan adalah daerah (kawasan dan sebagainya) yang termasuk di dalamnya; konfigurasi sumber daya yang tersedia bagi pengguna[1].
            Menurut Sartain (ahli psikologi Amerika), yang dimaksud lingkungan meliputi kondisi dan alam dunia ini yang dengan cara-cara tertentu mempengaruhi tingkah laku kita, pertumbuhan, perkembangan atau life processes.
            Lingkungan secara umum diartikan sebagai kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidupa lainnya. Lingkungan dibedakan menjadi lingkungan alam hayati (biotik), lingkungan alam nonhayati (abiotik), lingkungan buatan, dan lingkungan sosial. Sebagai contoh saat berada di sekolah, lingkungan biotiknya berupa teman-teman sekolah, bapak ibu guru serta karyawan, dan semua orang yang ada di sekolah, juga berbagai jenis tumbuhan yang ada di kebun sekolah serta hewan- hewan yang ada di sekitarnya. Adapun lingkungan abiotik berupa udara, meja kursi, papan tulis, gedung sekolah, dan berbagai macam benda mati yang ada di sekitar[2].
2.      Pendidikan
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik[3]
            Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
            Sedangkan lingkungan pendidikan dapat diartikan sebagai berbagai faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap praktek pendidikan. Lingkungan pendidikan sebagai berbagai lingkungan tempat berlangsungnya proses pendidikan, yang merupakan bagian dari lingkungan sosial[4]
3.      Keluarga
Keluarga adalah ibu dan bapak beserta anak-anaknya, seisi rumah; orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat[5]
Keluarga secara etimologi terdiri dari perkataan “kawula” dan warga”. Yang berarti kawula adalah adalah abdi dan warga adalah anggota. Artinya kumpulan individu yang memiliki rasa pengabdian tanpa pamrih demi kepentingan seluruh individu yang bernaung di dalamnya.
Keluarga adalah suatu kelompok sosial yang ditandai oleh tempat tinggal bersama, kerjasama, ekonomi, dan reproduksi[6]. Keluarga adalah sekelompok orang yang dipersatukan oleh pertalian kekeluargaan, perkawinan, atau adopsi yang disetujui secara sosial, yang umumnya sesuai dengan peranan-peranan sosial yang telah dirumuskan dengan baik[7].
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah hubungan atau sekelompok orang yang dipersatukan oleh pertalian pernikahan, darah, atau adopsi yang umumnya ditandai tempat tinggal bersama.
Keluarga merupakan bagian dari sebuah masyarakat. Unsur-unsur yang ada dalam sebuah keluarga baik budaya, mazhab, ekonomi bahkan jumlah anggota keluarga sangat mempengaruhi perlakuan dan pemikiran anak khususnya ayah dan ibu. Pengaruh keluarga dalam pendidikan anak sangat besar dalam berbagai macam sisi[8].
Keluargalah yang menyiapkan potensi pertumbuhan dan pembentukan kepribadian anak. Lebih jelasnya, kepribadian anak tergantung pada pemikiran dan tingkah laku kedua orang tua serta lingkungannya. Kedua orang tua memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan kepribadian anak. Islam menawarkan metode-metode yang banyak di bawah rubrik aqidah atau keyakinan, norma atau akhlak serta fikih sebagai dasar dan prinsip serta cara untuk mendidik anak. Dan awal mula pelaksanaannya bisa dilakukan dalam keluarga. Sekaitan dengan pendidikan, Islam menyuguhkan aturan-aturan di antaranya pada masa pra kelahiran yang mencakup cara memilih pasangan hidup dan adab jimak sampai masa pasca kelahiran yang mencakup tahnik, mendoakan bayi, memberikan nama yang bagus untuk bayi, aqiqah, mencukur rambut bayi, memberikan sedekah seharga perak yang ditimbang dengan berat rambut, dan khitan. Pelaksanaan amalan-amalan ini sangat berpengaruh pada jiwa anak[9].
Dari berbagai penjelasan di atas, maka lingkungan pendidikan keluarga adalah berbagai faktor lingkungan, baik hidup (orang tua, anak, orang seisi rumah) maupun tak hidup (media cetak, media elektronik, sarana prasarana, dan sebagainya) yang menunjang dan berpengaruh terhadap proses pendidikan di dalam keluarga.
B. Penjelasan Hadis-Hadis tentang Lingkungan Pendidikan Keluarga
            Berikut beberapa hadis tentang lingkungan pendidikan keluarga :
1.      Hadis tentang Pendidikan untuk Calon Orang Tua
Sebelum anak dilahirkan, calon ayah atau ibu, dituntut untuk memperbaiki dan mendidik dirinya terlebih dahulu. Kemudian, memilih calon pasangan yang shalih/shalihah yang insya Allah kelak akan menjadi orang tua dari si anak.
Memilih calon ayah atau ibu yang baik adalah hak anak yang harus ditunaikan oleh calon orang tua sebelum si anak lahir. Terdapat banyak hadits yang menganjurkan kaum pria agar memilih wanita baik-baik. Di antaranya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


تُنْكَحُ الْمَرأَةُ لأَِرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَافَاظْفَرْبِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

Artinya: “Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, status sosialnya, kecantikannya dan agamanya. Carilah wanita yang punya agama, engkau akan beruntung” [HR. al-Bukhâri dan Muslim].
 ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah ditanya mengenai hak seorang anak atas ayahnya. Beliau menjawab: “Yaitu memilih ibu terbaik, menamainya dengan nama yang baik dan mengajarinya al-Qur`an”.
Abul Aswad ad-Duali rahimahullah pernah berkata kepada anak-anaknya: “Aku telah berbuat baik kepada kalian saat masih kanak-kanak dan dewasa serta sebelum kalian terlahirkan”. Mereka bertanya-tanya: “Bagaimana ayah berbuat baik kepada kami sebelum kami dilahirkan?”. Ia menjawab: “Aku pilihkan kalian ibu yang tidak akan menjadi celaan bagi kalian”
Seorang anak selain membutuhkan seorang ibu yang shalihah, ia juga membutuhkan keberadaan bapak yang shalih yang memberikan perhatian kepada ibu dan anaknya. Di sinilah letak kewajiban keluarga dan wali wanita. Mereka hendaknya tidak menikahkan putrinya dengan lelaki mana saja yang maju meminangnya. Harus dipastikan kebaikan budi pekerti si pria dan agamanya, terutama di masa sekarang yang penuh dengan fitnah dan pemikiran yang menyeleweng. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إذا جاءكم من ترضون دينه وخلقه فزوجوه إلا تفعلوه تكن فتنة في الأرض وفساد كبير

Artinya: “Jika datang kepada kalian lelaki yang kalian ridhai agama dan akhaknya, maka nikahkanlah. Jika tidak, akan terjadi fitnah di dunia dan kerusakan yang besar”. (HR. Tirmidzi. Al Albani berkata dalam Adh Dho’ifah bahwa hadits ini hasan lighoirihi)
Al-Mubârakfuri rahimahullah menjelaskan: “Bahaya itu akan terjadi karena kalian tidak akan menikahkannya kecuali dengan lelaki berharta atau berstatus sosial tinggi. Sehingga kemungkinan akan banyak kaum wanita hidup tanpa suami dan kaum lelaki hidup tanpa istri. Akibatnya, banyak orang terjerumus dalam fitnah perzinaan. Dan pada gilirannya aib akan melekat pada para wali, dan kemudian fitnah dan kerusakan pun semakin menyala-nyala. Terputusnya garis nasab dan pudarnya keshalihan pribadi dan penjagaan terhadap kehormatan jiwa pun terjadi”. (Lihat Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, Shalih al-Fauzân, Dârul ‘Ashimah Cet. I Th. 1423H)[10]
Akan sangat berbahaya, bila seorang muslimah berada di bawah kendali lelaki mulhid (berpemikiran menyimpang), atau lelaki permisif yang memandang kebebasan mutlak bagi manusia, suami yang memaksa untuk berbuat maksiat, tidak mengenal arti penting pemeliharaan kehormatan dan sebagainya.
  1. Hadis tentang Pendidikan untuk Orang Tua
a.      Kewajiban Orang Tua dalam Mendidik Anak Sesuai Fitrahnya (al-Islam)


كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

Artinya: “Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam bersabda: Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” [Muttafaqun ‘alaih].
            Hadits ini memerintahkan kepada setiap orang tua untuk bisa menjaga fitrah anaknya (keislaman) anaknya, mendidik mereka dengan pendidikan islam. Sehingga si anak tidak berubah menjadi yahudi, nasrani atau majusi.
b.      Hadis tentang Tanggung Jawab Orang Tua Sebagai Pemimpin dalam Pendidikan Keluarga


وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya: “Seorang suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia akan ditanya tentang mereka. Istri adalah pemimpin terhadap rumah suaminya dan anak suaminya dan ia akan ditanya tentang mereka. Budak seseorang adalah pemimpin terhadap harta tuannya dan ia akan ditanya tentang harta tersebut. Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang orang yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 7138 dan Muslim no. 1829)
            Hadis di atas menjelaskan kepada kita tentang tanggung jawab kepemimpinan dalam keluarga. Suami bertanggung jawab penuh atas kepemimpinannya dalam keluarga, istri bertanggung jawab atas kepemimpinannya dalam rumah suami dan anak suaminya, dan bahkan budak/pembantu pun bertanggung jawab atas harta tuan/majikannya.
3.      Hadis tentang Pendidikan untuk Anak
a.      Mentahnik, mendoakan keberkahan, dan menamakan bayi dengan nama yang baik
Artinya: Dari Abu Musa Radhiallohu anhu beliau berkata: aku dikaruniai seorang anak, maka aku pun membawanya ke Rasulullah sallallohu alaihi wasallam, beliau pun memberinya nama Ibrahim, kemudian mentahniknya dengan sebuah kurma, dan mendoakan keberkahan untuknya serta memberikannya kepadaku. (HR. Al Bukhari)
            Tahnik ialah mengunyah makanan manis seperti korma dan disuapi kepada bayi yang baru dilahirkan[11]. Tahnik dilakukan demikian kepada bayi agar ia terlatih terhadap makanan dan untuk menguatkannya. Dan yang patut dilakukan ketika mentahnik hendaklah mulut bayi tersebut dibuka sehingga sesuatu yang telah dikunyah masuk ke perutnya. Dan yang lebih utama ketika mentahnik ialah dengan kurma. Dan kalau tidak ada kurma dengan sesuatu yang manis dan tentunya madu lebih utama dari yang lainnya (kecuali kurma). Demikian keterangan Ibnu Hajar di Fat-hul Baari Kitabul Aqiqah. Menurut Imam Nawawi bahwa tahnik ini termasuk sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam dengan kesepakatan para ulama. (Lihat Syarah Muslim Kitabul Adab)[12]
            Sedangkan yang dimaksud dengan mendoakan keberkahan ketika anak itu lahir dan waktunya sesudah tahnik ialah misalnya dengan ucapan, “Baarakallahufih” atau dengan ucapan “Allahumma baarik fih”. Atau dengan doa yang kita atur sendiri dengan bahasa kita yang maksudnya memohon kepada Allah agar anak yang baru lahir itu mendapat keberkahan-Nya[13].
            Pemberian nama ialah untuk mengenal terhadap sesuatu yang dinamakan. Ibnu Qayim berkata, "Pemberian nama pada hakikatnya merupakan tindakan untuk memperkenalkan sesuatu yang diberi nama. Karena jika dia ditemukan, namun dia tidak dikenal, maka tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan untuk memperkenalkannya. Maka pemberian nama boleh dilakukan saat dia dilahirkan, atau ditunda tiga hari kemudian, atau saat dia melakukan aqiqah, boleh juga sebelumnya atau sesudahnya. Perkaranya luas." (Tuhfatul Maudud, hal. 111)[14].
            Disunnahkan memberi nama yang baik, atau dengan nama-nama para nabi dan shahabat. Dari Nafi bin Ibnu Umar, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Sesungguhnya, nama yang paling disukai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman." (HR. Muslim, no. 2132). Dari Anas bin Malik, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: "Malam ini aku mendapatkan kelahiran anak, maka aku beri nama dia dengan nama bapakku; Ibrahim." (HR. Muslim, no. 2315).
b.      Aqiqah, mencukur rambut kepala bayi, bersedekah seberat timbangan rambut
            Dari Ali bin Abi Thalib, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan aqiqah terhadap Hasan dengan seekor kambing, lalu dia berkata, 'Wahai Fatimah, gundullah kepalanya dan sedekahlah dengan perak seberat timbangan rambutnya. Maka Fatimah berkata, 'Lalu aku timbang rambutnya, maka beratnya satu dirham atau sebagiannya." (HR. Tirmizi, no. 1519. Dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Tirmizi, no. 122).
            Aqiqah adalah menyembelih kambing untuk anak pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Adapun di antara faidah aqiqah antara lain :
1.      Taqarrub kepada Allah Ta’ala
2.      Menghidupkan sunnah Nabi shallallahu’alaihi wasallam
3.      Sebagai syiar islam tentang kelahiran anak yang menyalahi kebiasaan orang-orang kuffar
4.      Sebagai tanda syukur kepada Rabbul ‘Alamin atas nikmat-Nya yang sangat besar ketika Dia memberikan si buah hati
5.      Membebaskan anak dari tahanannya dan gadaiannya. Dan dia tidak bisa dibebaskan atau ditebus kecuali dengan aqiqah
6.      Bergembira pada hari-hari yang sangat bahagia ketika si buah hati lahir ke dunia dengan izin Allah Ta’ala
7.      Menginfakkan harta di jalan yang diridhai dan dicintai Allah dan Rasul-Nya
8.      Memberi makan keluarga, tetangga, teman, dan fakir miskin
9.      Memberi manfaat kepada anak yang lahir dengan aqiqahnya itu bahwa dia telah ditebus dengan seekor kambing sebagaimana Ismail Allah telah menggantinya dengan sembelihan seekor kibasy
10.  Menunjukkan tanggung jawab seorang bapak terhadap anak-anaknya[15]
Adapun yang dimaksud mencukur rambut kepala bayi ialah mencukur habis seluruh rambut kepala (dibotakkan) tanpa sisa pada hari ketujuh dari kelahirannya.
Di antara hikmah mencukur rambut kepala ialah agar di kemudian hari tidak mudah rontok, rusak, atau botak. Setelah rambutnya dibotakkan sebagian ulama mengatakan disukai memberi wangi-wangian. Barulah setelah itu bayi tersebut dikatakan bersih dari kotoran mentaati perintah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Dan ini menunjukkan bahwa bayi yang tidak dicukur sampai lama bahkan ada yang seterusnya sampai dewasa dikatakan bayi tersebut masih kotor belum bersih meskipun dimandikan sehari dua kali!.
Setelah rambut bayi dicukur habis, rambutnya dikumpulkan kemudian ditimbang beratnya dan disedekahkan kepada fakir miskin seberat rambut yang telah ditimbang imma dengan perak atau dengan harganya (uang)[16].
c.       Khitan
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: “Ibrahim alaihissalam berkhitan dengan menggunakan qaduum  sedangkan beliau berumur 80 tahun” (HR. Bukhari no. 3356 dan Muslim no. 2370).
            Dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Fitrah itu ada lima, atau ada lima perkara yang termasuk fitrah, yaitu; Khitan, mencukur rambut kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan memotong kumis." (HR. Bukhari, no. 55550, Muslim,  no. 257).
            Di antara faidah khitan adalah sebagai berikut:
  1. Mengikuti sunnahnya para nabi dan rasul. Inilah yang dinamakan al-fithrah atau ad-din, agama
  2. Khitan merupakan salah satu syiar dari syiar-syiar islam yang besar. Kalau di dalam agama kristen ada baptis maka di dalam islam ada khitan
  3. Khitan sebagai pembeda antara muslim dengan kafir. Dan hal ini telah ma’ruf dan masyhur sekali di kalangan umat manusia sehingga khitan itu senantiasa terkait dengan keislaman seseorang
  4. Khitan sebagai kebersihan dari najis dan kotoran. Bahwa menjaga dan memelihara diri dari najis hukumnya wajib dan khitan sebagai jalan keluar yang dapat mengatasinya. Karena dengan khitan niscaya najis dari sisa air kencing tidak akan bertahan dan mengendap.
  5. Menstabilkan syahwat (Ini khusus bagi perempuan) dan membaguskan wajah[17]
Dari hadis-hadis tentang pendidikan pada masa bayi dan kanak-kanak di atas, tampak jelas pesan-pesan pendidikan dari sunnah-sunnah Rasulullah yang mesti dilakukan orang tua di fase awal (masa bayi dan kanak-kanak), mulai dari tahnik, sebagai awal keberkahan untuk si buah hati, doa keberkahan, memberi nama dengan makna yang bagus, serta ungkapan syukur dengan aqiqah untuk memperoleh keberkahan. Dan tidak kalah penting, mencukur rambut agar bersih dari kotoran, bersedekah kepada fakir miskin seberat timbangan rambut, serta khitan sebagai sunnah fitrah yang dapat menjaga kebersihan dari najis dan kotoran.
d.      Penjelasan Hadits Arba’in Nawawiyah Ke-19


الحديث التاسع عشر: عن أبي العباس عبدالله بن عباس رضي الله عنهما قال: كنت خلف النبي صلى الله عليه وسلم يوماً، فقال لي: “يا غلام، إنّي أعلمك كلماتٍ: احفظ الله يحفظك، احفظ الله تجده تجاهك، إذا سألت فاسأل اللهَ، وإذا استعنت فاستعن بالله، واعلم أن الأمة لو اجتمعت على أن ينفعوك بشيء لم ينفعوك إلا بشيء قد كتبه الله لك، وإن اجتمعوا على أن يضرّوك بشيء لم يضروك إلا بشيء قد كتبه الله عليك، رفعت الأقلام وجفت الصحف”، رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح. وفي رواية غير الترمذي: “احفظ الله تجده أمامك، تعرّف إلى الله في الرخاء يعرفك في الشدة، واعلم أن ما أخطأك لم يكن ليصيبَك، وما أصابك لم يكن ليخطئَك، واعلم أن النصر مع الصبر، وأن الفَرَج مع الكرب، وأنّ مع العسر يسراً”.

Artinya: “Dari Abul ‘Abbas ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu dia berkata: “Suatu hari (ketika) saya (dibonceng Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) di belakang (hewan tunggangan) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepadaku: “Wahai anak kecil, sungguh aku akan mengajarkan beberapa kalimat (nasehat penting) kepadamu, (maka dengarkanlah baik-baik!): “Jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka Allah akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan syariat) Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu), jika kamu (ingin) meminta (sesuatu), maka mintalah (hanya) kepada Allah, dan jika kamu (ingin) memohon pertolongan, maka mohon pertolonganlah (hanya) kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa seluruh makhluk (di dunia ini), seandainya pun mereka bersatu untuk memberikan manfaat (kebaikan) bagimu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (kebaikan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) bagimu, dan seandainya pun mereka bersatu untuk mencelakakanmu, maka mereka tidak mampu melakukannya, kecuali dengan suatu (keburukan) yang telah Allah tuliskan (takdirkan) akan menimpamu, pena (penulisan takdir) telah diangkat dan lembaran-lembarannya telah kering.” HR At Tirmidzi (7/228-229 –Tuhfatul Ahwadzi), hadits no. 2516), disahihkan oleh Syaikh Al Albani), dan dia berkata: (hadits ini adalah) hadits hasan sahih.
            Dan dalam riwayat lain selain At Tirmidzi (Diriwayatkan oleh ‘Abd bin Humaid dalam Musnadnya dan sanadnya lemah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab (hal. 460), akan tetapi Imam Ahmad meriwayatkan hadits ini dalam Musnad beliau (1/307) dengan sanad lain yang sahih): “Jagalah Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu (selalu bersamamu dan menolongmu), kenalkanlah/dekatkanlah (dirimu) pada Allah disaat (kamu dalam keadaan) lapang (senang), supaya Allah mengenali (menolong)mu disaat (kamu dalam keadaan) susah (sempit), dan ketahuilah, bahwa segala sesuatu (yang telah Allah ta’ala tetapkan) tidak akan menimpamu, maka semua itu (pasti) tidak akan menimpamu, dan segala sesuatu (yang telah Allah ta’ala tetapkan) akan menimpamu, maka semua itu (pasti) akan menimpamu, dan ketahuilah, sesungguhnya pertolongan (dari Allah ta’ala) itu selalu menyertai kesabaran,dan jalan keluar (dari kesulitan) selalu menyertai kesulitan, dan kemudahan selalu menyertai kesusahan.”
            Beberapa masalah penting yang terkandung dalam hadis ini :
  1. Kewajiban mendidik anak-anak tentang urusan agama mereka sesuai dengan apa-apa yang Allah telah syariatkan
  2. Anak-anak diajak berbicara dan berkomunikasi dengan baik dengan cara yang mudah dipahami oleh mereka
  3. Mengajarkan kepada mereka segala sesuatu yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat mereka
  4. Mengajarkan kepada mereka perintah-perintah Allah, larangan-larangan-Nya, dan hak-hak-Nya agar memelihara dan menjaganya meskipun mereka belum terkena taklif (kewajiban)
  5. Kepada anak-anak juga diajarkan tentang halal dan haram, perintah dan larangan, meskipun mereka tidak berdosa apabila melanggarnya
  6. Anak-anak juga apabila mengerjakan amal taat mereka diberi pahala sunat
  7. Anak-anak diajarkan tentang tauhid dan aqidah yang benar
  8. Anak-anak diajarkan tentang kesabaran dalam menghadapi sesuatu. Dan bahwa pertolongan itu akan datang sesudah ada kesabaran
  9. Mereka pun diajarkan tentang kesusahan dan kesempitan yang akan selalu diiringi dengan kemudahan dan kelapangan[18]
e.       Hadis tentang pendidikan shalat dan fitrah seksualitas
Dari Amr bin Syuaib dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,


مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ

Artinya: "Perintahkan anak-anak kalian untuk mendirikan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka saat mereka berusia sepuluh tahun, pisahkan tempat tidur di antara mereka." (HR. Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)
            Beberapa masalah penting yang terkandung dalam hadis ini :
1.      Kewajiban orang tua untuk memerintahkan anak-anak mereka untuk menegakkan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun. Sebelum usia anak tujuh tahun tidak wajib bagi para orang tua memerintahkan anak-anak mereka mendirikan shalat. Akan tetapi kalau anak-anak itu mengerjakan juga shalat lima waktu atau sebagiannya tanpa perintah sebagai suatu keharusan maka hal ini tidak salah bahkan di dalamnya terdapat kebaikan sebagai pendidikan awal. Mereka mengerjakannya di bawah usia tujuh tahun imam disebabkan pengajaran atau melihat contoh atau anjuran yang tidak ditekankan dan diharuskan. Apabila anak tersebut telah mendekati usia tujuh tahun atau sebelumnya, maka wajiblah bagi setiap orang tua mengajarkan anak-anak tentang cara mendirikan shalat dan yang berhubungan dengannya seperti cara berwudhu.
2.      Kewajiban orang tua untuk memukul anak-anak mereka yang meninggalkan shalat fardhu ketika mereka berumur sepuluh tahun. Dan tentunya dengan pukulan:
a.       yang dapat mereka terima (ringan yang sesuai dengan kemampuan mereka)
b.      yang tidak membekas pada tubuh
c.       bukan pada bagian muka
3.      Kewajiban orang tua untuk memisahkan tempat tidur anak-anak apabila mereka telah berumur sepuluh tahun, imma dipisahkan kamarnya, imma dipisahkan tempat tidur atau kasurnya meskipun masih di dalam satu kamar. Perinciannya sebagai berikut:
a.      Antara anak laki-laki dengan anak perempuan dipisahkan kamarnya
b.      Antara anak laki-laki dengan anak laki-laki boleh dipisahkan kamarnya dan boleh juga hanya dipisahkan tempat tidur atau kasurnya meskipun masih di dalam satu kamar
c.       Demikian juga antara anak perempuan dengan anak perempuan boleh hanya dipisahkan tempat tidur atau kasurnya
Dan tidak syak lagi bahwa yang terbaik untuk mereka masing-masing memiliki kamar sendiri-sendiri, agar lebih dapat mencegah kerusakan-kerusakan yang akan terjadi di antara mereka dan sebagai pendidikan keberanian dan kemandirian bagi mereka[19].
f.    Hadis tentang adab makan
Hadits Umar bin Abi Salamah رضي الله عنه  beliau berkata :
Artinya: “Aku adalah seorang anak kecil yang berada dibawah asuhan Rosululloh صلى الله عليه وسلم dulu tanganku berkeliling mengitari nampan kalau lagi makan,  maka berkata Rosululloh  صلى الله عليه وسلم kepadaku : “Wahai anak kecil bacalah بسم الله  dan makanlah dengan  tangan kananmu dan makanlah dari apa -apa yang dekat denganmu?”
            Beberapa masalah penting yang terkandung dalam hadis :
  1. Menyebut nama Allah ketika akan makan dan minum yaitu dengan ucapan bismillah
  2. Makan dan minum dengan tangan kanan
  3. Makan dari yang dekat. Maksudnya ialah apabila seseorang makan bersama-sama dengan beberapa orang dengan satu piring/nampan besar, maka wajib baginya makan dari makanan yang dekat dengannya. Dilarang tangannya berkeliling atau berputar-putar sehingga tidak tetap di tempatnya dan dapat mengambil hak orang lain atau menjijikkan mereka. Adapun apabila seseorang itu makan sendiri di piring kecil seperti piring-piring kita yang ada sekarang ini maka tidak terkena perintah dan larangan di atas[20]
g.      Hadis tentang larangan dari mengambil/memakan yang bukan haknya


عن أبى هريرة رضي الله عنه قال: أخذ الحسن بن عليٍ رضي الله عنهما تمرة من تمرة الصدقة فجعلها فى فِيه. فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: كخ، كخ، اِرم بها، أما علمت أنّا لا نأكل الصدقة

Artinya: “Dari Abu Huroiroh rodhiallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Hasan bin ‘Ali rodhiallahu ‘anhuma mengambil sebiji kurma dari kurma zakat (kejadian ini di masjid sebagaimana diterangkan dalam riwayat lain, pen), lalu ia memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Kih! Kih! (keluarkanlah dan) buanglah kurma itu! Tidakkah engkau mengetahui bahwa kita tidak boleh memakan shadaqah?'” (HR. Bukhari dan Muslim).
            Dari hadis di atas, permasalahan penting yang dapat diambil:
1.      Anak-anak pun dijaga atau dipelihara dari perbuatan yang haram
2.      Mereka juga dicegah dari mengambil sesuatu yang haram
3.      Mereka dilarang memakan yang haram
4.      Mereka diajarkan adab-adab yang baik yang bermanfaat bagi mereka dan dijauhkan dari yang membahayakan mereka
5.      Bentakan untuk anak-anak berbeda dengan bentakan untuk orang dewasa
6.      Bolehnya memanfaatkan masjid untuk urusan-urusan umum
7.      Bolehnya memasukkan anak-anak ke dalam masjid. Tentunya dengan syarat mereka tidak memberikan gangguan
8.      Menyerahkan zakat kepada imam
9.      Tidak halal bagi Nabi shallallahu’alaihi wasallam dan keluarganya menerima atau memakan shadaqah yang wajib (zakat) dan shadaqah sunat
10.  Mengeluarkan makanan yang haram dari mulut, dan tidak ditelan[21]
h.      Hadis tentang menjaga amanah


عن عبد الله بن بسر ااصحابّي ر ضي الله عنه قال: بعثْني أميّ ألى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم بقِطْف من عِنَبٍ فأكلت منه قبل أن أبلغه إيّاه فلمّا جئت به أخذ بأذني، وقال: يا غـدر

Artinya: Dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi rodhiallahu ‘anhu ia berkata: “Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer telinga saya seraya bersabda: ‘Wahai anak yang tidak amanah'” (HR. Ibnu Sunni)
            Dari sini dapat diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi seorang anak. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkan seorang anak tidak bertanggung jawab terhadap amanah yang telah diberikan, dan di sisi lain beliau menghukum juga dengan tidak berlebihan.


PENUTUP

A. Kesimpulan
       Kesimpulan yang dapat kita ambil dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Lingkungan diartikan sebagai kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidupa lainnya.
2.      Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
3.      Keluarga adalah hubungan atau sekelompok orang yang dipersatukan oleh pertalian pernikahan, darah, atau adopsi yang umumnya ditandai tempat tinggal bersama.
4.      Lingkungan pendidikan keluarga adalah berbagai faktor lingkungan, baik hidup (orang tua, anak, orang seisi rumah) maupun tak hidup (media cetak, media elektronik, sarana prasarana, dan sebagainya) yang menunjang dan berpengaruh terhadap proses pendidikan di dalam keluarga.
5.      Hadis-hadis tentang pendidikan keluarga yang telah kita bahas yaitu mengenai pendidikan untuk calon orang tua, orang tua, dan anak.
B. Saran
            Kami menyarankan kepada pembaca (terutama akademisi muslim) untuk menerapkan pendidikan secara islami di lingkungan keluarga sebagaimana hadis-hadis shahih yang telah kita bahas bersama. Kami juga mengajak kita semua untuk menggunakan hadis-hadis yang shahih sebagai rujukan dalam pendidikan.

Foot Note:


[1] Badan Bahasa Kemdikbud, Aplikasi Luring Resmi KBBI V, Dapat diakses di https://play.google.com/store/apps/details?id=yuku.kbbi5.
[3] Badan Bahasa Kemdikbud, Aplikasi Luring Resmi KBBI V, Dapat diakses di https://play.google.com/store/apps/details?id=yuku.kbbi5.
[4] Dinn Wayudin, dkk. Pengantar Pendidikan, (Jakarta : Universitas Terbuka, 2004), Hlm. 31.
[5] Op. Cit., Aplikasi Luring Resmi KBBI V.
[6] Abu Ahmadi, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 58.
[7] Ibid, hlm. 59.
[8] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar dan Mengajar, (Bandung: PT. Sinar Baru Algesindo, 2000), hlm. 102.
[9] Ibid, hlm. 103.
[10] Perhatian Syariat Islam Terhadap Janin, Diakses dari https://almanhaj.or.id/3123-perhatian-syariat-islam-terhadap-janin.html, pada tanggal 16 Oktober 2018.
[11] Mohammad Al Munajjed, Pendidikan Anak, Diakses dari https://islamqa.info/id/20064, pada tanggal 16 Oktober 2018.
[12] Abdul Hakim bin Amir Abdat, Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk yang Dinanti, (Jakarta: Pustaka Muawiyah bin Abi Sufyan, 2013), hlm. 221.
[13] Ibid, hlm. 222.
[14] Mohammad Al Munajjed, Pendidikan Anak, Diakses dari https://islamqa.info/id/20064, pada tanggal 16 Oktober 2018.
[15] Op. Cit., Menanti Buah Hati dan Hadiah Untuk yang Dinanti, hlm. 266-267.
[16] Ibid, hlm. 268-270.
[17] Ibid, hlm. 284-285.
[18] Ibid, hlm. 337-340.
[19] Ibid, hlm. 342-349
[20] Ibid, hlm. 351-352.
[21] Ibid, hlm. 354

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan masukkan komentar anda di sini

RECENT POSTS

RECENT COMMENTS