Zakat secara bahasa berarti an namaa’ (tumbuh), az ziyadah (bertambah), ash sholah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.
Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka 
(tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri 
(tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri. An Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”[2]. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih.
Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[3]
Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri
Hikmah disyari’atkannya zakat fithri adalah: (1) untuk berkasih 
sayang dengan orang miskin, yaitu mencukupi mereka agar jangan sampai 
meminta-minta di hari ‘ied, (2) memberikan rasa suka cita kepada orang 
miskin supaya mereka pun dapat merasakan gembira di hari ‘ied, dan (3) 
membersihkan kesalahan orang yang menjalankan puasa akibat kata yang 
sia-sia dan kata-kata yang kotor yang dilakukan selama berpuasa sebulan.[4]
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ 
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً 
لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ 
أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا 
بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri
 untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata 
keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang 
menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang
 menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di
 antara berbagai sedekah.”[5]
Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh 
setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan 
Ramadhan. Bahkan Ishaq bin Rohuyah menyatakan bahwa wajibnya zakat 
fithri seperti ada ijma’ (kesepakatan ulama) di dalamnya[6]. Bukti dalil dari wajibnya zakat fithri adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ 
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ 
تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، 
وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ 
وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri
 dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang 
merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun 
dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang 
keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.”[7]
Perlu dipehatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini
 tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti 
Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. 
Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf (kebiasaan yangg ada). [8]
Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1) setiap muslim karena 
untuk menutupi kekurangan puasa yang diisi dengan perkara sia-sia dan 
kata-kata kotor, (2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri.
Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai 
kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan 
siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti dia 
dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Orang seperti ini 
yang disebut ghoni (berkecukupan) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَأَلَ 
وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » 
فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ 
شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ
“Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu yang 
mencukupinya, maka sesungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka
 berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi tersebut?” 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Seukuran makanan 
yang mengenyangkan untuk sehari-semalam. [9]”[10]
Dari syarat di atas menunjukkan bahwa kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya.[11]
 Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami 
bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi 
tanggungan nafkah suami.[12]
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fithri jika ia 
bertemu terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fithri. Jika dia 
mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. 
Inilah yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i.[13]
 Alasannya, karena zakat fithri berkaitan dengan hari fithri, hari tidak
 lagi berpuasa. Oleh karena itu, zakat ini dinamakan demikian 
(disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga disandarkan pada 
waktu fithri tersebut.[14]
Misalnya, apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya 
matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya kewajiban 
dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah 
terbenamnya matahari maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakat fithri.
 Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari 
maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan 
sebagaimana terdapat perbuatan dari Utsman bin ‘Affan yang mengeluarkan 
zakat fithri untuk janin. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari
 terbenam, maka zakat fithri wajib untuk dikeluarkan darinya.
Bentuk Zakat Fithri
Bentuk zakat fithri adalah berupa makanan pokok seperti kurma, 
gandum, beras, kismis, keju dan semacamnya. Inilah pendapat yang benar 
sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam
 Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama 
Hanabilah yang membatasi macam zakat fithri hanya pada dalil (yaitu 
kurma dan gandum). Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, 
tidak dibatasi hanya pada dalil.[15]
Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 
mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau gandum karena ini 
adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan 
pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, tentu 
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan membebani 
mereka mengeluarkan zakat fithri yang bukan makanan yang biasa mereka 
makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh diperintahkan seperti 
ini. Allah Ta’ala berfirman,
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ
“Maka kafaroh (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh 
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada 
keluargamu.” (QS. Al Maidah: 89). Zakat fithri pun merupakan bagian
 dari kafaroh karena di antara tujuan zakat ini adalah untuk menutup 
kesalahan karena berkata kotor dan sia-sia.[16]
Ukuran Zakat Fithri
Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fithri adalah satu sho’ dari semua bentuk zakat fithri kecuali untuk qomh (gandum) dan zabib (kismis) sebagian ulama membolehkan dengan setengah sho’.[17]
 Dalil dari hal ini adalah hadits Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan bahwa
 zakat fithri itu seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Dalil lainnya 
adalah dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
كُنَّا 
نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
 ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Dahulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami 
menunaikan zakat fithri berupa 1 sho’ bahan makanan, 1 sho’ kurma, 1 
sho’ gandum atau 1 sho’ kismis.”[18] Dalam riwayat lain disebutkan,
أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ
“Atau 1 sho’ keju.”[19]
Satu sho’ adalah ukuran takaran yang ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 Para ulama berselisih pendapat bagaimanakah ukuran takaran ini. Lalu 
mereka berselisih pendapat lagi bagaimanakah ukuran timbangannya.[20] Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang[21]. Ukuran satu sho’ jika diperkirakan dengan ukuran timbangan adalah sekitar 3 kg.[22] Ulama lainnya mengatakan bahwa satu sho’ kira-kira 2,157 kg.[23] Artinya jika zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg, sudah dianggap sah. Wallahu a’lam.
Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang?
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak 
boleh menyalurkan zakat fithri dengan uang yang senilai dengan zakat. 
Karena tidak ada satu pun dalil yang menyatakan dibolehkannya hal ini. 
Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya zakat fithri diganti 
dengan uang.
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak bolehnya zakat fithri dengan uang sebagaimana pendapat mayoritas ulama.
Abu Daud mengatakan,
قِيلَ 
لِأَحْمَدَ وَأَنَا أَسْمَعُ : أُعْطِي دَرَاهِمَ - يَعْنِي فِي صَدَقَةِ 
الْفِطْرِ - قَالَ : أَخَافُ أَنْ لَا يُجْزِئَهُ خِلَافُ سُنَّةِ رَسُولِ 
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
“Imam Ahmad ditanya dan aku pun menyimaknya. Beliau ditanya oleh 
seseorang, “Bolehkah aku menyerahkan beberapa uang dirham untuk zakat 
fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir seperti itu tidak sah. 
Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Abu Tholib berkata berkata bahwa Imam Ahmad berkata padanya,
لَا يُعْطِي قِيمَتَهُ
“Tidak boleh menyerahkan zakat fithri dengan uang seharga zakat tersebut.”
Dalam kisah lainnya masih dari Imam Ahmad,
قِيلَ لَهُ : 
قَوْمٌ يَقُولُونَ ، عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَ يَأْخُذُ 
بِالْقِيمَةِ ، قَالَ يَدَعُونَ قَوْلَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقُولُونَ قَالَ فُلَانٌ ، قَالَ ابْنُ عُمَرَ : 
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum mengatakan bahwa ‘Umar
 bin ‘Abdul ‘Aziz membolehkan menunaikan zakat fithri dengan uang 
seharga zakat.” Jawaban Imam Ahmad, “Mereka meninggalkan sabda 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka mengatakan bahwa si fulan telah mengatakan demikian?! Padahal Ibnu ‘Umar sendiri telah menyatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum ...).[24]” Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”[25] Sungguh aneh, segolongan orang yang menolak ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengatakan, “Si fulan berkata demikian dan demikian”.”[26]
Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (pernah menjabat sebagai 
Ketua Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, Komisi 
Fatwa Saudi Arabia), memberikan penjelasan:
“Telah kita ketahui bahwa ketika pensyari’atan dan dikeluarkannya 
zakat fithri ini sudah ada mata uang dinar dan dirham di tengah kaum 
muslimin –khususnya penduduk Madinah (tempat domisili Nabi shallallahu 
‘alaihi wa sallam, pen)-. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
 tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya 
mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
 dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. 
Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, 
tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka 
yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita.”[27]
Penerima Zakat Fithri
Para ulama berselisih pendapat mengenai siapakah yang berhak 
diberikan zakat fithri. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat fithri 
disalurkan pada 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah 
ayat 60[28].
 Sedangkan ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya dan 
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah khusus untuk fakir
 miskin saja.[29] Karena dalam hadits disebutkan,
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Zakat fithri sebagai makanan untuk orang miskin.”
Alasan lainnya dikemukan oleh murid Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Beliau rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi
 petunjuk bahwa zakat fithri hanya khusus diserahkan pada orang-orang 
miskin dan beliau sama sekali tidak membagikannya pada 8 golongan 
penerima zakat satu per satu. Beliau pun tidak memerintahkan untuk 
menyerahkannya pada 8 golongan tersebut. Juga tidak ada satu orang 
sahabat pun yang melakukan seperti ini, begitu pula orang-orang 
setelahnya.”[30] Pendapat terakhir ini yang lebih tepat, yaitu zakat fithri hanya khusus untuk orang miskin.
Waktu Pengeluaran Zakat Fithri
Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam: 
(1) waktu afdhol yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri 
hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang dibolehkan 
yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan 
oleh Ibnu Umar.[31]
Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
مَنْ 
أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا 
بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum shalat maka 
zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka
 itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[32]
Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum adalah disebutkan dalam shahih Al Bukhari,
وَكَانَ ابْنُ
 عُمَرَ - رضى الله عنهما - يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، 
وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma memberikan zakat fithri 
kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan zakatnya
 itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya 'Idul Fithri.”[33]
Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat fithri ditunaikan tiga
 hari sebelum ‘Idul Fithri. Riwayat yang menunjukkan dibolehkan hal ini 
adalah dari Nafi’, ia berkata,
أَنَّ عَبْدَ 
اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي 
تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
“’Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul Fitri.”[34]
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fithri boleh ditunaikan sejak 
awal Ramadhan. Ada pula yang berpendapat boleh ditunaikan satu atau dua 
tahun sebelumnya.[35]
 Namun pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini, dikarenakan zakat 
fithri berkaitan dengan waktu fithri (Idul Fithri), maka tidak 
semestinya diserahkan jauh hari sebelum hari fithri. Sebagaimana pula 
telah dijelaskan bahwa zakat fithri ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan 
orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari fithri. Jika ingin 
ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari 
sebelum hari ‘ied.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Seandainya zakat fithri 
jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fithri telah diserahkan, maka tentu saja 
hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk 
memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘ied. Ingatlah bahwa sebab 
diwajibkannya zakat fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa.
 Sehingga zakat ini pun disebut zakat fithri. ... Karena maksud zakat 
fithri adalah untuk mencukupi si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari
 fithri), maka tidak boleh didahulukan jauh hari sebelum waktunya.”[36]
Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri Setelah Shalat ‘Ied?
Barangsiapa menunaikan zakat fithri setelah shalat ‘ied tanpa ada 
udzur, maka ia berdosa. Inilah yang menjadi pendapat ulama Malikiyah, 
Syafi’iyah dan Hanabilah. Namun seluruh ulama pakar fikih sepakat bahwa 
zakat fithri tidaklah gugur setelah selesai waktunya, karena zakat ini 
masih harus dikeluarkan. Zakat tersebut masih menjadi utangan dan 
tidaklah gugur kecuali dengan menunaikannya. Zakat ini adalah hak sesama
 hamba yang mesti ditunaikan.[37]
Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menyerahkan zakat fithri kepada
 suatu lembaga zakat, maka sudah seharusnya memperhatikan hal ini. Sudah
 seharusnya lembaga zakat tersebut diberi pemahaman bahwa zakat fithri 
harus dikeluarkan sebelum shalat ‘ied, bukan sesudahnya. Bahkan jika 
zakat fithri diserahkan langsung pada si miskin yang berhak menerimanya,
 maka itu pun dibolehkan. Hanya Allah yang memberi taufik.
Di Manakah Zakat Fithri Disalurkan?
Zakat fithri disalurkan di negeri tempat seseorang mendapatkan 
kewajiban zakat fithri yaitu di saat ia mendapati waktu fithri (tidak 
berpuasa lagi). Karena wajibnya zakat fithri ini berkaitan dengan sebab 
wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithri.[38]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278.
[2] Al Majmu’, 6/103.
[3] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278 dan Minhajul Muslim, 230.
[5] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[7] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[8] Lihat Shifat Shaum Nabi, 102.
[9] HR. Abu Daud no. 1435 dan Ahmad 4/180. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/80-81.
[11] Mughnil Muhtaj, 1/595.
[12] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/59.
[13] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[14] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[15] Shahih Fiqh Sunnah, 2/82.
[16] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/69.
[17] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[18] HR. Bukhari no. 1508 dan Muslim no. 985.
[19] HR. Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985.
[20] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8286.
[21] Lihat Al Qomush Al Muhith, 2/298.
[22] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/202.
[23] Lihat pendapat Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 2/83.
[24] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[25] QS. An Nisa’ ayat 59.
[26] Lihat Al Mughni, 4/295.
[27] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211
[28] Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
 zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, 
pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk 
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan 
untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
 diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60).
[29] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.
[30] Zaadul Ma’ad, 2/17.
[31] Lihat Minhajul Muslim, 231.
[32] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[33] HR. Bukhari no. 1511.
[34] HR. Malik dalam Muwatho’nya no. 629 (1/285).
[35] Lihat pendapat berbagai ulama dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284 dan Al Mughni, 5/494.
[36] Al Mughni, 4/301.
[37] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[38]
 Misalnya, seseorang yang kesehariannya biasa di Jakarta, sedangkan 
ketika malam Idul Fithri ia berada di Yogyakarta, maka zakat fithri 
tersebut ia keluarkan di Yogyakarta karena di situlah tempat ia 
mendapati hari fithri. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda di sini