Lebih Penting  Khilafah ataukah Dakwah Tauhid?
Boleh jadi, banyak orang beranggapan bahwa masalah tauhid itu penting   dan utama, bahkan wajib. Anggapan ini seratus persen benar. Namun,   karena dalam kacamata sebagian orang, tauhid itu -meskipun penting dan   utama, bahkan wajib- sempit cakupannya atau ‘terlalu’ mudah untuk   direalisasikan -dan bahkan menurut mereka praktek dan pemahaman tauhid   pada diri masyarakat  sudah beres semuanya- maka akhirnya banyak di   antara mereka yang meremehkan atau bahkan melecehkan da’i-da’i yang   senantiasa mendengung-dengungkannya.
Terkadang muncul celetukan di antara mereka, “Kalian ini   ketinggalan jaman, hari gini masih bicara tauhid?”. Atau yang lebih   halus lagi berkata, “Agenda kita sekarang bukan lagi masalah TBC   -takhayul, bid’ah dan churafat-, sekarang kita harus lebih perhatian   terhadap agenda kemanusiaan.” Atau yang lebih cerdik lagi berkata, “Kalau   kita meributkan masalah aqidah umat itu artinya kita su’udzan kepada   sesama muslim, padahal su’udzan itu dosa! Jangan kalian usik mereka,   yang penting kita bersatu dalam satu barisan demi tegaknya khilafah!”.   Allahul musta’aan…
Sampai Kapan Kita Bicara  Tauhid?
Tauhid adalah agenda terbesar umat Islam di sepanjang zaman. Sebab   tauhid adalah hikmah penciptaan, tujuan hidup setiap insan, misi dakwah   para nabi dan rasul, dan muatan kitab-kitab suci yang Allah turunkan.   Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku   ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”  (QS. adz-Dzariyat: 56). Allah ta’ala  berfirman (yang artinya), “Yang menciptakan kematian dan kehidupan,   untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang lebih baik  amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Allah ta’ala  berfirman  (yang artinya), “Sungguh, Kami telah mengutus kepada  setiap umat  seorang rasul -yang menyeru-; Sembahlah Allah dan jauhilah  thaghut.” (QS. an-Nahl: 36). Allah ta’ala  berfirman  (yang artinya), “Tidaklah Kami utus sebelum kamu -hai  Muhammad-  seorang rasul pun melainkan Kami wahyukan kepada mereka,  bahwasanya  tidak ada sesembahan -yang benar- kecuali Aku, maka  sembahlah Aku saja.” (QS. al-Anbiya’: 25)
Bahkan, tauhid adalah syarat pokok diterimanya amalan. Allah ta’ala  berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan   perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan   janganlah mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu   apapun.” (QS. al-Kahfi: 110). Allah ta’ala  berfirman (yang artinya), “Sungguh, apabila kamu berbuat syirik   maka benar-benar semua amalanmu akan terhapus, dan kamu pasti akan   termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. az-Zumar:   65). Lebih daripada itu, kemusyrikan -sebagai lawan dari   tauhid- menjadi sebab seorang hamba terhalang  masuk surga untuk   selama-lamanya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya   barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh Allah haramkan   atasnya surga dan tempat kembalinya adalah neraka, dan sama sekali tidak   ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu.” (QS.   al-Maa’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman (yang   artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, sembelihanku, hidup   dan matiku, seluruhnya adalah untuk Allah Rabb seluruh alam, tiada   sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, dan aku adalah   orang yang pertama kali pasrah.” (QS. al-An’aam: 162-163).
Oleh sebab itu, berbicara masalah tauhid berarti berbicara mengenai   hidup matinya kaum muslimin dan keselamatan mereka di dunia maupun di   akherat. Berbicara masalah tauhid adalah berbicara tentang tugas mereka   sepanjang hayat masih dikandung badan. Allah ta’ala berfirman   (yang artinya), “Sembahlah Rabbmu sampai datang kematian.” (QS.   al-Hijr: 99). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam keadaan mempersekutukan   Allah dengan sesuatu apapun, dia pasti masuk neraka.” (HR.   Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu).   Maka dengan alasan apakah agenda yang sangat besar ini dikesampingkan?
Kami Berjuang Demi  Membela Hak-Hak Manusia!
Seruan semacam ini sering kita dengar. Dan banyak sekali kalangan   yang tertipu dan terbius dengannya, sampai-sampai sebagian aktifis   gerakan dakwah pun termakan oleh slogan ini. Padahal, di balik slogan   -yang terdengar merdu ini- tersimpan rencana jahat Iblis dan bala   tentaranya untuk menjauhkan manusia dari jalan Allah ta’ala,   yaitu jalan tauhid. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah;   Inilah jalanku, aku menyeru menuju Allah, di atas landasan   bashirah/ilmu, inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…”  (QS. Yusuf: 108).
Hak-hak manusia sedemikian agung dalam pandangan mereka. Mereka benci   dan murka apabila hak-hak manusia dihinakan dan diinjak-injak oleh   sesamanya. Mereka pun bangkit dengan mengatasnamakan pejuang hak azasi   manusia, pembela rakyat kecil, pembela kaum tertindas, dan   gelaran-gelaran ‘keren’ lainnya. Orang-orang pun merasa tertuntut untuk   mendukung mereka, karena mereka khawatir disebut tidak punya kepedulian   terhadap sesama. Dan yang lebih busuk lagi, kalau ada yang  menjadikannya  sebagai sarana untuk meraih ambisi kekuasaan belaka!
Padahal, hak-hak manusia -sebesar apapun jasanya, semulia apapun   kedudukannya- tetap saja masih lebih rendah apabila dibandingkan dengan   hak Allah ta’ala, Rabb yang menciptakan dan mengatur jagad   raya. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  mewasiatkan agar dakwah tauhid didahulukan sebelum ajakan-ajakan yang   lainnya. Beliau  bersabda, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan   kepada mereka yaitu supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR.   Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma).   Demikian pula beliau mengajarkan kepada kita, “Hak Allah atas  hamba  adalah hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak  mempersekutukan-Nya  dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari  dan Muslim dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu).  Namun, jangan  disalahpahami bahwa ini berarti kita meremehkan hak-hak  manusia, sama  sekali tidak!
Jangan Bicara Masalah  Bid’ah!
Ungkapan semacam ini pun sering terlontar. Dalam persepsi mereka,   bid’ah itu adalah masalah sensitif yang tidak perlu diungkit-ungkit.   Mengapa demikian? Karena dengan memperingatkan umat dari bahaya bid’ah   dan menjelaskan amalan-amalan serta keyakinan-keyakinan yang bid’ah akan   menyebabkan timbulnya konflik internal di dalam tubuh kaum muslimin,   dan menurut ‘hemat mereka’ hal itu  akan melemahkan kekuatan kaum   muslimin dan memecah belah persatuan mereka. Sepintas, sepertinya ini   adalah alasan yang masuk akal dan bisa diterima… Namun, jangan   terburu-buru! Karena ternyata cara berpikir semacam ini tidak dibenarkan   oleh agama.
Sebelumnya, kita yakini bersama bahwa bid’ah adalah tercela dan   sesat. Allah tidak menerima ibadah yang dilakukan namun tidak ada   tuntunannya alias diada-adakan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa   sallam bersabda, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak   ada tuntunannya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim  dari Aisyah radhiyallahu’anha). Sebagian ulama salaf juga   berkata, “Bid’ah lebih disukai Iblis daripada maksiat. Karena   maksiat masih ada kemungkinan diharapkan taubat darinya. Adapun bid’ah,   maka sulit diharapkan taubat darinya.” Selain itu, sebagaimana  kita  yakini pula bahwa dalam berdakwah kita harus bersikap bijak, tidak   boleh serampangan atau asal-asalan. Bahkan, sikap bijak/hikmah  merupakan  pilar dalam dakwah. Namun, bersikap bijak bukan dengan cara  membiarkan  kemungkaran merajalela tanpa pengingkaran kepadanya.
Tatkala bid’ah menjadi penghalang diterimanya amalan, bahkan ia   termasuk kategori dosa dan kemungkaran, maka sudah sewajarnya seorang   da’i memperingatkan bahayanya dan menjelaskannya kepada umat.   Sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.   Di setiap khutbah Jum’at beliau selalu memperingatkan umat dari bahaya   bid’ah dan mengingatkan mereka bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan  yang  berujung kepada kehancuran, sebagaimana yang tertera di dalam khutbatul   hajah di setiap awal ceramah. Oleh sebab itu para ulama  menganggap  bahwa orang yang membantah ahlul bid’ah adalah termasuk  golongan  mujahid!
Tidakkah anda ingat bagaimana sahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma  dengan ilmu sunnah yang dimilikinya dengan tegas membantah dan berlepas   diri dari bid’ah Qadariyah yang muncul di masanya?
Demikian pula para   ulama salaf lainnya seperti Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah  yang dengan tegar mempertahankan aqidah al-Qur’an kalamullah  dan bukan makhluk, dan masih banyak ulama lain yang melakukan perjuangan   serupa seperti mereka berdua dengan segala resiko yang harus mereka   tanggung di jalan dakwah ini. Maka apabila kita telah mengetahui itu   semua, jelaslah bagi kita bahwa seorang da’i yang tidak menempuh jalan   ini -memperingatkan umat dari bahaya bid’ah- itu maknanya dia telah   berkhianat terhadap amanah dakwah. Karena ‘pengkhianatannya’ itulah   statusnya akan berubah dari seorang da’i ilallah -orang yang   mengajak kepada Allah- menjadi da’i ila ghairillah  -orang yang mengajak kepada selain Allah-!  
Nas’alullahas salamah
Jangan Merasa Paling  Benar!
Sebagian orang ketika ditegur dan diingatkan untuk meninggalkan atau   menjauhi perkara-perkara yang menyimpang dari agama -karena  bertentangan  dengan al-Qur’an ataupun as-Sunnah- dengan ringannya  mengucapkan  perkataan semacam itu. Entah penyimpangan itu terkait  dengan aqidah,  ibadah, ataupun masalah yang lainnya. Entah itu termasuk  dalam kategori  syirik, kekafiran, kebid’ahan ataupun kemaksiatan yang  lainnya. Belum  lagi, jika orang tersebut memiliki sedikit ‘ilmu’ dan  wawasan, maka  dengan sigapnya dia akan ‘memperkosa’ dalil demi  melanggengkan  tindakannya yang keliru. Keras kepala, itulah sifat yang  melekat dalam  dirinya. Kalau dicermati lebih dalam, justru ternyata  sikapnya yang  tidak mau menerima nasehat dan teguran itu merupakan  bentuk kesombongan  dan ekspresi perasaan diri yang paling benar [!],
Wal  ‘iyadzu billah…
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Kemudian apabila   kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada  Allah  dan rasul, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari   akhir…” (QS. an-Nisaa’: 59). Allah ta’ala  juga berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka   tidak beriman sampai mereka mau menjadikan kamu -Muhammad- sebagai hakim   atas segala perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak   mendapati rasa sempit dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu   berikan, dan mereka pun pasrah sepenuhnya.” (QS. an-Nisaa’:   65). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Tidaklah   pantas bagi seorang mukmin lelaki maupun perempuan, apabila Allah dan   rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka   pilihan yang lain dalam urusan mereka itu. Barangsiapa yang durhaka   kepada Allah dan rasul-Nya sesungguhnya dia telah tersesat dengan   kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36).
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah dia   -Muhammad- itu berbicara melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.”  (QS. an-Najm: 3-4). Rasulullah shallallahu ‘alaihi   wa sallam bersabda, “Agama adalah nasehat, untuk Allah,   Kitab-Nya, rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan untuk rakyatnya.”  (HR. Muslim dari Tamim bin Aus ad-Dari radhiyallahu’anhu).
 
Tauhid Sudah Ada di  Dada-Dada Manusia!
Sebagian orang mengucapkan perkataan semacam ini, sehingga secara   sadar ataupun tidak dia telah menjauhkan manusia dari dakwah tauhid.   Berangkat dari asumsi yang salah itulah maka mereka tidak lagi   memberikan porsi besar bagi dakwah tauhid. Mereka pun beralih ke kancah   perpolitikan ala Yahudi dan menyibukkan diri dengan sesuatu yang   menyeret mereka dalam kehinaan. Apabila dikaji sebabnya, maka hanya ada   dua kesimpulan; mungkin karena ketidaktahuannya sehingga dengan  mudahnya  dia berkata demikian, atau karena dia mengetahui kebenaran  namun  sengaja berpaling darinya. Dan keduanya ini apabila menimpa  seorang yang  digelari sebagai da’i, ustadz ataupun murabbi  merupakan  realita yang sangat pahit sekali. Oleh sebab itu, kita perlu   meluruskannya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa tauhid bukan sekedar ucapan la   ilaha illallah yang tidak diiringi dengan konsekuensinya.   Orang-orang munafikin di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengucapkan la ilaha illallah, akan tetapi mereka divonis akan   menempati kerak neraka yang paling bawah. Hal itu tidak lain karena   mereka tidak jujur dalam mengucapkannya. Tauhid juga bukanlah sekedar   keyakinan bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan   pemelihara alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan serta yang   melimpahkan rezki, bukan itu saja! Sebab apabila memang itu tauhid yang   dimaksud oleh dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  niscaya  beliau tidak perlu mengobarkan peperangan kepada kaum kuffar  Quraisy  yang telah mengimani perkara-perkara itu.
Jangan Runtuhkan  Persatuan!
Apabila para da’i berbicara tentang tauhid dan membantah berbagai   macam bentuk kemusyrikan yang ada serta menjelaskan sunnah dan   membongkar berbagai macam bentuk bid’ah yang merajalela, maka bangkitlah   sebagian orang dengan semangat bak pahlawan seraya berteriak, “Mengapa   kalian sibukkan umat dengan urusan semacam ini? Umat akan terpecah   belah akibat dakwah kalian.” Inilah komentar-komentar sinis yang   mereka lontarkan. Padahal, kita telah mengetahui bersama bahwa persatuan   kaum muslimin yang hakiki -yang dengannya mereka akan selamat di   hadapan Rabbnya- adalah persatuan di atas tauhid dan sunnah, bukan   persatuan di atas syirik dan bid’ah! Orang-orang yang gemar menebar   syirik dan bid’ah -dengan dipoles berbagai macam hiasan- maka mereka   itulah sesungguhnya gerombolan pemecah belah dan pengacau persatuan!
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang   menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan dia mengikuti  jalan  selain orang-orang yang beriman maka niscaya Kami akan biarkan  dia  terombang-ambing di atas kesesatan yang dipilihnya, dan Kami akan   memasukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan sungguh Jahannam itu adalah   seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115).   Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu   -kiamat- tidak akan bermanfaat harta dan keturunan, melainkan bagi   orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS.   asy-Syu’ara: 88-89). Allah ta’ala berfirman (yang   artinya), “Pada hari itu -kiamat- orang-orang yang -dahulu ketika di   dunia- saling berkasih sayang berubah menjadi saling memusuhi, kecuali   orang-orang yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf: 67).   Allah ta’ala juga berfirman mengenai seruan Nabi ‘Isa ‘alaihis   salam kepada kaumnya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah,   Dialah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia -saja-. Inilah jalan   yang lurus.” (QS. az-Zukhruf: 64). Allah ta’ala  berfirman tentang dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  (yang artinya), “Sesungguhnya inilah jalanku yang lurus, maka   ikutilah ia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain itu,   karena hal itu akan mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Itulah yang   Dia perintahkan kepada kalian mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS.   al-An’aam: 153)    
   
Khilafah, Itu Solusinya!
Sebagian gerakan Islam yang telah kehilangan arah dan lalai dari misi   dakwah para rasul sangat getol mendengung-dengungkan slogan ini.   Menurut mereka, tanpa khilafah berarti tiada syari’ah. Tanpa khilafah,   kaum muslimin tidak bisa berbuat apa-apa. Maka jadilah khilafah sebagai   target perjuangan dan misi utama dakwah mereka. Tidak ada satupun   problema di masyarakat atau negara melainkan  mereka sangkut-sangkutkan   dengan khilafah dan politik kekuasaan. Mereka menuding para da’i tauhid   sebagai da’i kampungan yang tidak bisa bicara kecuali masalah-masalah   sepele. Tidak bisa mengatasi masalah bangsa, tidak punya visi ke depan   demi kejayaan umat, dan lain sebagainya.
Padahal, kita semua tahu bahwa bangunan umat ini tidak akan tegak dan   kokoh kecuali di atas aqidah yang kuat dan murni. Seorang muslim  dengan  aqidah yang kokoh akan dengan sukarela menerapkan syari’ah dalam   kehidupannya sekuat kemampuannya, meskipun misalnya ternyata khilafah   belum mampu mereka wujudkan karena kondisi umat yang masih berlumuran   dengan kotoran-kotoran keyakinan dan bid’ah yang sedemikian luas   menjangkiti anak bangsa dan diwariskan secara turun temurun dari   generasi ke generasi dan melindas lembaran sejarah sedemikian lama.
Perubahan ini membutuhkan proses yang bertahap, tidak bisa terjadi   secara tiba-tiba seperti membalikkan telapak tangan begitu saja. Hal ini   dapat kita saksikan dalam individu-individu kaum muslimin. Yang mana   perubahan menjadi baik itu memerlukan proses dan tahap yang tidak   sebentar. Nah, bagaimana lagi dengan sekelompok orang yang memiliki   beragam problema, sebuah negara, apalagi kumpulan negara dengan jutaan   masalah yang menghimpit warga negara mereka masing-masing? Tentu   merubahnya tidak cukup dengan teriakan dan slogan semata. Kembali kepada   syari’ah tidak seratus persen bergantung pada khilafah. Betapa banyak   syari’at yang bisa diterapkan oleh seorang individu umat ini, sebuah   keluarga atau sekumpulan orang tanpa perlu menunggu tegaknya khilafah.   Tidak ada yang salah dalam merindukan khilafah, akan tetapi tatkala   khilafah menjadi tujuan dan cita-cita dakwah maka silahkan anda jawab   sendiri pertanyaan ini; Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa   sallam berdakwah dengan tujuan mendirikan khilafah, ataukah   menegakkan tauhid?
Dari situlah perlu kita camkan wahai saudaraku, bahwa tidak akan   berhasil upaya apapun yang ditempuh oleh gerakan mana saja selama mereka   lebih memilih jalannya sendiri dan tidak mau mengikuti jejak para   pendahulu mereka. Imam Malik rahimahullah telah mengingatkan, “Tidak   akan baik urusan akhir umat ini kecuali dengan sesuatu yang telah   memperbaiki generasi awalnya.” Imam Syafi’i rahimahullah  berkata, “Kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang telah   jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka  tidak  halal baginya meninggalkan hal itu gara-gara mengikuti pendapat   seseorang.” Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,   “Ikutilah tuntunan dan jangan membuat ajaran-ajaran baru, karena   sesungguhnya kalian telah dicukupkan.” Rasulullah shallallahu   ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat   kedudukan sebagian kaum dengan sebab Kitab ini -al-Qur’an- dan akan   menghinakan sebagian kaum yang lain dengan sebab Kitab ini pula.” (HR.   Muslim dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu).   Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah   tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang  ada  pada diri mereka sendiri.” (QS. ar-Ra’d: 11).
Sungguh benar ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu, “Betapa   banyak orang yang menghendaki kebaikan namun tidak berhasil   mendapatkannya.” Betapa banyak orang yang mengira dirinya pejuang   Islam, mujahid dakwah, da’i kebenaran, namun ternyata mereka salah jalan   dan justru menjadi musuh Islam dari dalam. Allah ta’ala  berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kuberitakan kepada   kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu   orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia akan tetapi   mereka mengira bahwa mereka telah melakukan kebaikan yang   sebaik-baiknya.” (QS. al-Kahfi: 103-104)
Saudaraku, betapa banyak rumah yang roboh bukan karena tiupan angin   kencang ataupun terpaan banjir bandang. Akan tetapi ia roboh karena   pondasinya yang tidak kokoh, karena pilar-pilarnya yang begitu lemah,   tidak kuat menopang dinding dan atap serta barang-barang berat yang ada   di dalamnya, sehingga tatkala getaran kecil gempa menyapa maka luluh   lantaklah seluruh sendi-sendinya dan runtuhlah rumah itu menimpa   pemiliknya! Maka demikianlah perumpamaan orang-orang yang mengimpikan   kekuasaan dan khilafah namun menyingkirkan agenda terbesar umat Islam   yang sesungguhnya. Jadi, sepenting apakah tauhid itu? Kini anda telah   bisa menjawabnya.
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/manhaj/lebih-penting-khilafah-ataukah-dakwah-tauhid.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda di sini